Clara berdiri kaku di depan sebuah makam yang masih basah, didalamnya seseorang baru saja terkubur. Meninggalkan dunia ini selamanya, meninggalkan ceritanya begitu saja. Ia hanya ingat kenangan bersamanya. Silly, entah itu hanya kepura-puraan, tapi perasaan Clara tulus untuk semua orang.
Hari ini pemakaman Silly, kesibukan dirinya Clara jadikan alasan untuk tidak hadir pada prosesi pemakaman temannya tersebut. Teman? Hahaha, tertawa saja dalam diam.
Clara mengeluarkan ponselnya yang berdering disaku celana.
"Ku bilang jangan ke pemakamannya." Tegas suara yang akhir-akhir ini selalu dekat dengannya.
"Kau bisa menelpon ku nanti."
Pip
Sambungan itu Clara putuskan sepihak tanpa repot-repot mendengarkan Ethan mengoceh panjang lebar lagi. Clara harus mengakui jiwanya sedang goyah, ia berada di suatu titik dimana ia tak tahu harus berbuat apa. Mungkin dengan sendiri ia bisa bermonolog dengan hatinya yang rentan itu.
"Silly..." Desisnya. Air mata rasanya telah berada di ujung pelupuk mata.
Apa ini? Rasa sedih itu tiba-tiba saja mampir.
Clara menengadahkan kepalanya menatap langit mendung.
"Ethan..." Ucap Clara lirih. Nama yang lebih dari sekedar keramat. Bahkan Clara merasa pria kejam itu berada didekatnya walau tak terlihat, bagai angin adalah matanya. Ia selalu tahu dimana Clara berada, tak menyisahkan ruang kosong untuk dirinya. Ya, kebebasan itu telah lama pergi.Sekali lagi Clara menatap kosong batu nisan didepannya sebelum benar-benar pergi. Langkahnya terasa berat, rintik-rintik air langit menambah lengkap adegan mirisnya itu.
Clara telah sampai di trotoar, meninggalkan rerumputan hijau diladang makam sana. Otaknya terus berbicara. Ia hanya merasa bersalah akan semua yang terjadi, tapi tidak! Ia juga tak menginginkan ini. Entah mengapa ia merasa bahwa kematian Silly dirinya penyebabnya.
Hujan semakin deras, menghantam Clara dengan kenyataan yang rasanya akan terasa semakin berat dipikulnya. Ia telah bebas, ia kembali, ia pulang, orang tuanya kembali menyayanginya tapi Clara kesulitan mendapat kebahagiaannya lagi. Tidak akan pernah selama pria laknat itu berada disampingnya.
Dulu... Ia tak seperti ini. Ia akan meminta maaf agar orang lain tak merasa tersakiti sekali pun bukan salahnya. Ia akan merangkul beban-beban yang berkeluh kesah padanya, menyemangati siapa pun walau sejujurnya dirinya juga perlu semangat dibalik kesempurnaan hidupnya. Tapi sekarang, ia mulai membenci. Clara tak tahu sejak kapan rasa itu bersemayam, mungkin saat ia mengenal Ethan. Karena orang pertama yang ia benci adalah Ethan.
Kebencian itu semakin menjalar tak kala satu per satu kenyataan terkuak. Ia benci Silly yang berusaha melenyapkannya, ia benci orang-orang munafik, ia benci harus bertemu Ethan. Rasanya tiada hari yang ia lewati tanpa kebencian dan itu menyesakkan.
"Aaahhhhhh." Clara berteriak frustasi. Mencengkram rambutnya dan bertekuk lutut. Ini seperti bukan dirinya, tangisnya melebur bersama hujan.
"Ku kira aku bisa berpura-pura tak perduli hiks..hiks..hikss."
Clara mengurung dirinya, tak membiarkan siapa pun tahu keberadaannya. Ribuan kali ia mengulang pemikirannya yang tetap sama. Nyatanya ia memilih pergi ke pemakaman disaat sudah tak ada lagi orang di kuburan. Berharap menemukan jawaban tapi malah pusara itu seakan mengingatkannya semuanya telah berubah.
Sebuah payung menaungi Clara, membuat gadis itu mendongak ke atas. Netranya bertemu dengan tatapan dingin Ethan. Sekilas, sekelebat masa lalu saat Clara memayungi Ethan dan menolongnya muncul bagai de javu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanna Die (Complete)✓
Romance"Karena mengenal mu, membuat tujuan hidup ku menjadi dua kalimat 'mencintai mu' dan 'memiliki mu'." ~Ethan Gracious~ "Aku takut, cinta yang diawali oleh rasa sakit akan juga berakhir menyakitan." ~Clara Evelyn Razita~ "Aku muak mencintai dalam diam...