Mario

5.9K 68 3
                                    

Kukemudikan Pajero sport di jalan yang mulus, menikmati alunan lirik lagu dari Pinkan Mambo.

" ... Bukannya aku jahanam, aku hanya mencari senang. Hatiku tak kan bisa kuberdusta, cinta ini memang untuk dirinya dan untuk dirimu ...."

Waktu hampir jam 9 pagi, aku terlambat ke kantor. Belum lagi ponsel khusus untuk Mario terus berdering.

"Hallo, Bang ...."

"Sayang kemana saja, sih? Abang bisa gila kalau nggak ketemu kamu sekarang."

Tawaku pecah mendengar rentetan keluhannya. Pria berbadan atletis itu bicara tentang rindu.

"Sabar, Sayang! Aku udah di kantor nih."

Aku merapikan rambut dan berkaca di spion yang tergantung elegan di bagian depan kabin Pajero.

"Tumben baru di kantor? Biasanya kamu selalu pagi ...." tanya pria itu penuh selidik.

"Habis dapat serangan fajar,--" Aku sengaja menggantung kalimat, ingin tahu reaksi Mario.

"Argh ... aku jemput sekarang ya, Sayang! Aku pasti membuatmu melupakan serangan fajar dari suamimu."

Tawaku kembali berderai mendengar ucapannya yang setengah merajuk. Aku tersanjung. Ego sebagai penakluk pria benar-benar menggoda.

"Aku kerja dulu ya! Nanti makan siang aku ke hotel."

"Aku tunggu, Sayang! Jangan terlambat!"

Kecupan bertubi-tubi terdengar di ujung saluran. Aku tertawa riang membayangkan saat-saat penuh gairah nakal bersama Mario. Sanggupkah permainannya membuatku melupakan permainan Mas Akhyar.

***

Menit berlalu aku sudah tenggelam dengan kertas-kertas yang ada di meja. Aku benar-benar kewalahan. Rasanya jadi enggan untuk menemui Mario. Waktu menunjukkan pukul 11:30 saat ponsel khususku berteriak - teriak. Nama Mario terukir di layar ....

"Jam berapa mau ke sini, Sayang? Aku sudah kangen berat ni--apalagi juniorku." Aku cekikikan mendengar kata-kata erotisnya barusan.

"Sebentar ya, Sayang! Aku masih banyak kerjaan nih. Sore aja ya--"

"Kalau kamu nggak cepet ke sini, aku yang akan ke kantormu!" Potong Mario tak mau kalah. Aku mendesah kecewa. Tapi aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan Mario. Dia sudah berkali-kali mengungkapkan bahwa hanya aku yang bisa memuaskan hasrat liarnya.

"Oke-oke. Aku ke sana satu jam lagi ya!" Aku berusaha menenangkan pria itu.

"Nggak pake molor ya, Sayang! Aku sudah rindu sama desahanmu."

"Hu-um, Sayang. Aku kerja dulu ya!" Kuakhiri percakapan dengan kecupan. Lalu kembali tenggelam dengan kertas-kertas yang harus diperiksa. Ponselku kembali berdering. Kali ini ada wajah Mas Akhyar dan kedua jagoanku di layar.

"Hallo, Mas ...."

"Sudah makan siang, Sayang? Makan siang sama-sama yuk! Mas nanti mau ke pabrik langganan, jadi pengen ketemu sama istri mas yang luar biasa." Rayuan Mas Akhyar terdengar merdu. Sayangnya aku harus menemui Mario.

"Aku banyak kerjaan, Mas." Desahan kecewa terdengar di ujung saluran. Terbesit kecewa dalam hati ini.

"Ya sudah, mas berangkat ke pabrik saja ya? Mungkin besok baru pulang."

"Hati-hati, Mas! Maaf ya?!"

"Iya, Sayang. Ya udah mas berangkat dulu ya? Love you ...."

Kecewa tergambar jelas dari suara Mas Akhyar. Hubungan kami baru mulai romantis, entah kenapa Mario harus datang. Tapi sudahlah. Bukankah Mario hanya beberapa hari saja. Segera kuraih tas kemudian berlalu pergi. Waktu makan siangku sudah lewat. Setelah berpesan pada staff bahwa aku tak kembali ke kantor, aku segera menemui Mario.

Sebuah hotel yang lumayan jauh dari pusat kota menjadi pilihan Mario. Aku tahu, dia memikirkan keamanan kami. Rintik hujan perlahan membasahi jalanan. Butiran airnya membasahi kaca bagian depan Pajero yang kukendarai. Hampir 30 menit aku sampai di parkiran. Hujan semakin lebat. Soalnya aku tak membawa payung. Terpaksa aku keluar menembus rintik hujan.

Setelah sampai di lobby segera kukibaskan air hujan yang menempel di baju dan rambut. Pantofel yang kukenakan terasa lembab dan basah. Aku segera menuju lift yang tampak lengang. Pasti karena hujan. Siapapun enggan keluar kamar.

Kamar 408 terukir di pintu berwarna coklat, aku mengetuk dengan tak sabar. Aku takut ada yang mengenali. Mario tampak bugar, mengenakan kaos oblong berwarna abu, dan celana pendek berwarna coklat. Ia segera menarikku ke dalam, mengunci pintu. Melumat bibirku dengan kasar.

"B--bang, pelan-pelan dong!"

Mario tampaknya tak peduli dengan ucapanku, ia terus melumat dan menggigit bibirku. Tangannya meremas dada dan kemudian masuk ke dalam kemeja. Membuka pengait bra yang kukenakan.

"Abang rindu, Sayang. Rindu sekali. Tolong! Hilangkan dahaga dan rindu ini, Sayang! Aku mohon! Abang bisa gila ...."

Aku mengalungkan lengan di leher bajanya, menyisir rambut ikannya dengan lima jari.

"Aku akan membuatmu melayang hari ini, Sayang. Percayalah!"

Kukecup bibir itu dengan lembut lalu memainkan lidahnya dengan santai. Kutinggalkan kesan kalem disetiap sentuhanku. Pria itu berkali-kali mengerang, tapi aku tak mengubah ritme permainan. Inilah aku dan Mario tahu persis permainanku seperti apa.

"Sayang, abang mohon kita akhiri saja rindu ini!"

Mario yang bertubuh besar dan kekar itu menggendongku menuju ranjang, tatapan mata penuh cinta itu begitu syahdu. Aku tahu, dia kini adalah hambaku. Ranjang mewah itu melesak saat tubuh kami saling menindih, Mario benar-benar sedang dalam rindu berat padaku.

Tubuhku menggelinjang saat bibirnya menyisir setiap inci kulitku, kecupannya penuh oleh dahaga cinta. Aku memejamkan mata saat tubuh kami menyatu, erangan Mario benar-benar indah di telingaku.

"Sayang ... kamu nikmat banget. Aku selalu rindu saat-saat seperti ini, Sayang." Pria itu benar-benar mabuk. Aku mengukir senyum saat ia terus mengerang nikmat. Tak lama ia terkulai lemah di dadaku.

"Maaf ya, Sayang! Aku dapet duluan. Aku kangen berat sama kamu, jadi--yagitu, cepet keluar." Pria itu berbisik manja, kubelai rambutnya dengan lima jari. Kemudian mengecup lembut bibir yang masih tersenyum.

"Nggak apa-apa, Bang. Santai aja. Lagipula hari ini masih panjang." Aku menggeliat dan memiringkan tubuh, kemudian memeluk tubuhnya yang tertutup selimut.

"Abang rasanya nggak ingin pisah sama kamu, May. Baru pisah beberapa minggu saja, aku oleng." Setengah bergurau Mario menceritakan perasaannya. Aku mengecup pipinya, berusaha memberi tahu bahwa aku memahami perasaannya.

"Jangan libatkan perasaan dalam hubungan kita, Bang! Bisa hancur." Aku mengingatkan Mario akan komitmen kami.

"Tapi aku benar-benar kehilangan, Sayang! Aku benar-benar merasa gila jauh darimu." Sanggahnya frustasi. Mata sendunya menatap ke netra hitamku dengan lekat. Sebelah tangannya menyentuh pipiku yang mulus.

"Sudahlah, Bang! Nikmati saat ini saja. Jangan pikirkan yang lain! Aku akan berusaha untuk selalu ada untukmu. Asal jangan seperti tadi, telepon terus!" Aku protes tegas. Tak ingin merasa diteror oleh kewajiban untuk memuaskan dirinya.

"Ingat, Bang! Hubungan kita adalah hubungan untuk saling memuaskan. Bukan untuk cinta apalagi memiliki. Hubungan kita hanya sebatas ini dan ini." Aku menunjuk kewanitaanku dan kejantanannya yang kekar di balik selimut.

Mario tersenyum getir melihat sikapku.

"Apa benar tak rasa sedikitpun di hatimu untukku, Sayang?"

Aku tersentak mendengar pertanyaannya. Ada rasa aneh yang tak terlukiskan, tapi aku memilih melumat bibirnya dari pada berargumen lagi. Aku tak ingin makin membahayakan kesenanganku pada kepuasan di ranjang.

Yang aku tahu, aku adalah penyuka lelaki yang bisa membuatku puas dengan berteriak. Selebihnya kuanggap angin lalu.

*ekstrim ya si Maya 😄
Mungkin semua wanita suka dipuaskan, tapi tentunya dengan cara yang baik dan halal.

RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang