Namaku Maya

10.3K 88 1
                                    

Memang masih banyak yang berparas lebih cantik dariku. Namun yang mempunyai saya tarik sebagai penggoda tentu tidak banyak. Sebagian orang menganggap itu kutukan, tapi buatku adalah anugerah. Aku bisa mendapatkan banyak perhatian dari lawan jenis. Termasuk kemudahan kenaikan jabatan. Sekali kedipan mata--ah sudahlah.

Selain Zul yang mulai pedekate, aku juga tengah menjalin hubungan aktif dengan Mario. Dia seorang Manager GA di sebuah perusahaan konstruksi. Sayangnya hubungan kami harus diakhiri, karena Mario dipindahtugaskan ke daerah lain.

"Nanti kalau aku ke kota ini, kita masih bisa ketemu, 'kan, Sayang?" bisiknya manja di telingaku.

"Aku nggak janji ya, Bang! Soalnya kalau terlalu lama menunggu aku jadi bosan. Kamu tahu aku 'kan?" ucapku cuek.

Tangan kekar Mario semakin menarikku dalam pelukan. Berkali-kali ia gigit cuping telingaku dengan lembut.

"Seandainya aku bisa, aku pasti akan bawa kamu, Sayang! Ke tempat di mana kita bisa menghabiskan waktu setiap saat. Kamu selalu bikin aku bergairah," ucapnya lagi.

"Bukankah ada istrimu, Bang?" godaku dengan manja.

"Dia bukan lawan yang panas di ranjang, nggak seperti kamu."

"Oya? Nanti di kota lain, pasti kamu dapat lawan yang baru, ya 'kan?"

Tawa renyah berderai dari bibir sexy Mario. Gigi putihnya berbaris rapi. Kemapanan penghasilan membuat penampilannya sempurna. Belum lagi pakaian mahal yang ia kenakan. Sangat berbanding terbalik dengan Mas Akhyar, suamiku.

"Sayang, aku dapat bonus tahunan. Ini buat kamu saja ya!" ucapnya sambil merogoh sebuah amplop dari bawah bantal. Lalu menyelipkan di telapak tanganku.

"Banyak banget nih, istrimu gimana?" ucapku sambil menimang amplop berwarna cokelat.

"Istriku udah kukasih. Tenang aja! Okelah udah saatnya Abang pulang. Nanti kalau Abang ke kota ini, pasti abang telepon. Jangan lupakan abang ya, Cantik?" pujinya kemudian. Tangan nakalnya kembali bergerilya di kulitku. Hanya gelinjang nikmat yang kupamerkan padanya. Inilah aku. Wanita yang haus kenikmatan.

***

"Ma, ini uang bulanan. Uang sekolah anak-anak sudah ku bayar kemaren," jelas Mas Akhyar. Aku hanya menggeliat malas di atas ranjang. Seluruh tubuh rasanya remuk, pasca melakukan pesta perpisahan dengan Bang Mario.

"Kok diem aja? Apa kurang?" tanyanya sambil membelai rambutku.

"Nggak. Mama cuma lagi capek aja," jawabku datar. Pria berjanggut itu segera memijat bahuku dengan lembut.

"Jangan capek-capek dong, Ma! Mungkin baiknya kita promil lagi, biar anak-anak punya adik," ucapnya dengan nakal.

"Capek, Pa. Bunting beranak itu. Kalau Papa mau anak lagi, silahkan bunting sendiri. Apa belum cukup dia anak?" tanyaku sewot.

Pria tampan berwajah teduh itu mengecup pipiku dan tertawa jenaka.

"Ampun deh kalau sampai Papa yang bunting dan beranak."

Ia mendekapku dengan penuh kasih. Mengusap rambut dan pipiku.

"Papa sayang banget sama mama. Mama dan anak-anak adalah pelengkap kehidupan Papa. Terima kasih ya, Sayang!" ucapnya penuh kasih.

Tiba-tiba hadir rasa bersalah dalam hati. Mas Akhyar tak pernah tahu sepak terjangku di luar. Istrimu yang bernama Maya ini adalah pemburu kenikmatan.

"Ya udah, Papa berangkat ke toko ya. Gunakan hari libur untuk istirahat!" titahnya lagi dengan penuh kasih.

Tubuh tegap dengan perut sedikit buncit itu menghilang dari balik pintu. Meninggalkan aku dalam pergolakan batin dan pengandaian.

Sepuluh tahun yang lalu, dialah pria yang berhasil menaklukan kerasnya watak Ayahku. Dia tak pernah menyerah meski Ayah menolaknya berkali-kali. Dengan alasan aku masih kuliah. Kegigihannya yang ia buktikan dan datang lagi saat aku selesai wisuda, meluluhkan hati ayah. Suara lantangnya saat melafazkan ijab qobul, membuat duniaku berubah.

Semua berubah. Termasuk penampilan dan gaya hidupku. Mas Akhyar berasal dari keluarga pedagang yang ulet. Kemewahan langsung otomatis kumiliki. Tak perlu bekerja keras. Namun aku mencoba peruntungan untuk mengaplikasikan ilmu yang kudapat di bangku kuliah.

Meski dengan berat hati Mas Akhyar mengijinkanku bekerja. Dengan catatan tak boleh lalai dengan keluarga. Sayangnya bekerja malah membentuk pribadi liarku tumbuh. Apalagi Mas Akhyar tak bisa maksimal memberikan pelayanan ranjang padaku.

Lamunanku terganggu oleh dering ponsel. Zul.

"Hai, Beb. Lagi ngapain di hari minggu?" sapanya di ujung telepon.

"Baru bangun tidur, Ay. Mandi aja belom," jawabku ringan.

"Mau dong jadi teman tidurmu! Tak mandiin mau nggak?" pintanya nakal.

Aku menggigit bibir mendengar ucapannya. Kata-kata Zul seperti sinyal kenikmatan baru bagiku.

"Memangnya mau jadi teman tidurku?" tanyaku tak kalah nakal.

"Tentu saja, Beb. Aku pasti akan memuaskanmu," ucapnya percaya diri.

Aku tertawa mendengar keyakinannya. Boleh nih kapan-kapan dicoba.

"Oke, Ay! Aku mau mandi dulu ya!"

"Oke, Beb."

Segera setelah percakapan berakhir aku menuju kamar mandi. Menghujani tubuhku dengan air hangat. Sesekali menggigit bibir mengingat panasnya saat-saat bersama Bang Mario. Dia benar-benar kemasan yang sempurna.

***

Aku segera menjumpai kedua jagoanku dan menyiapkan sarapan. Mereka berceloteh riang tentang kegiatan di sekolah. Sehari-hari mereka selalu diurus oleh papanya. Hanya di hari minggu mereka bersantai denganku. Bisa dibilang aku adalah wanita yang sangat beruntung. Punya suami yang kaya raya, penyayang, inilah hidupku.

Sayangnya aku punya kehidupan se*s yang monoton dan membosankan. Hal ini jugalah yang mendorongku mencari kepuasan di luar. Tapi perlu diketahui, Anak-anak ku adalah anak biologis Mas Akhyar.

*Maaf updatenya lama. Karena jaringan tidak bersahabat.

RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang