Zul dan senyum manisnya

15.6K 124 8
                                    

Entah sejak kapan rasa ini hadir di dalam hatiku. Bermula dari perkenalan--yang persis terjadi kapan, aku lupa. Awalnya aku mencari-cari jika sosoknya tak kujumpai di kantor. Meski kami berbeda divisi, tapi pertemuan akan selalu terjadi. Terkadang berpapasan di pantry, dia berjalan sambil memegang cangkir kopi yang asapnya mengenal serta menebarkan aroma khas.

Hubungan kami mulai akrab di jejaring sosial. Komentarnya selalu kunanti di setiap postinganku. Kemudian beralih ke jalur yang lebih private, messenger. Oh iya, nama pria itu Zul. Pria berambut ikal, berbadan tegap, meski tingginya biasa - biasa saja.

"Hai, Beb. Ngapain?" sapanya di messenger, tak lupa ia sertakan emot dengan mata hati.

"Santai aja. Di ruangan," jawabku santai. Jantungku berdebar tak karuan. Padahal aku adalah wanita bersuami.

"Makan siang, yuk! Aku yang traktir," ajaknya di pesan berikut yang kembali menyapa gawaiku.

"Jangan, Zul! Nanti ada yang lihat kita, gimana?" tanyaku was-was.

"Cari tempat yang aman donk, Beb! Masa mau terang-terangan. Aku tahu kok, kalau aku ngajak seorang publik figure." Aku tersenyum membaca pesannya. Iya. Aku adalah seorang Kasi.

"Gimana, mau nggak?" tanyanya lagi.

"Pastikan tempatnya aman ya!" jawabku di pesan balasan.

"Oke, Beb."

Aku meraih tas dan mengambil bedak serta lipstik. Merapikan riasan, sebentar lagi waktu makan siang. Tak sampai sepuluh menit, pesan dari Zul kembali menyapa gawai.

"Beb, aku di parkiran. Nanti lokasinya aku share ya. Baiknya kamu jalan aja dulu, jadi waktu kita banyak!" titahnya.

"Oke," jawabku setuju. Sebelum meninggalkan ruangan, kusemprotkan parfum non alkohol di leher. Kemudian bergegas keluar. Anggukan dan senyum ramah menyambut saat aku berjalan melintasi koridor penghubung antar ruangan. Aku sangat dihormati.

Segera kupacu kendaraan roda empat, melintasi jalanan licin yang tersapu gerimis. Suasana syahdu, mendung bergelayut manja. Sebuah pesan kembali masuk, Zul mengirimkan alamat tempat kami bertemu. Tak jauh, hanya lima menit dari tempatku sekarang.

Pepohonan pinus berbatang sedang menyambutku di depan sebuah resto makanan khas daerah Jawa. Ukuran dan ornamen menjadi ciri khusus. Hujan makin deras. Sial .... Aku lupa bawa payung. Segera kuraih gawai untuk menghubungi Zul, namun seseorang mengetuk kaca mobilku.

Zul ....
Pria itu datang membawa payung lebar berwarna pelangi. Senyum menghiasi pipi yang membalut rahang kuatnya. Barisan gigi putih menyembul di balik bibir. Ia mengisyaratkan agar aku keluar.

Tak disangka Zul meraih jemariku tak ayal lagi bahu kami bersentuhan. Ada gelenyar rasa yang tak biasa, kala indera penciuman menghidu aroma parfum maskulinnya.

"Hujannya tambah deras ya, Beb," ucapnya sambil melipat payung. Ia menunjuk sebuah meja di sudut restoran. Aku tak mengira bila dia tetap memanggilku, Beb.

"Iya. Padahal tadi gerimis waktu aku keluar dari kantor," jawabku mengibas rambut yang terkena air hujan. Pria itu menarik kursi untukku, lalu meletakkan tas yang kubawa di atas meja.

"Bagus 'kan kalau hujan makin deras. Jadi makin romantis," ucapnya nakal. Sambil mengedipkan mata padaku.

"Kamu, ya?" ucapku menyambut kelakar nakalnya. Seorang waiters menghampiri dan memberikan buku menu pada kami. Makanan hangat dan berkuah adalah pilihanku. Kebetulan sejak pagi aku belum makan.

Sepeninggal waiters, Zul selalu memandangi wajahku. Dia sukses membuatku tersipu.

"Apaan sih? Ngeliatin terus. Kaya baru kenal aja?" ucapku sambil tersenyum.

"Kamu cantik, Beb. Asli. Kalau di kantor kamu tegas banget. Aku jadi takut," jelasnya dengan wajah jenaka.

"Ya bedalah, Zul. Di kantor ada tanggung jawab yang harus kuemban."

"Boleh nggak aku minta sesuatu?"

"Apa?"

"Panggil aku Ayang! Masa aku aja yang manggil kamu Beb? Gimana?" pintanya kemudian. Jemarinya yang besar menangkup jemari kecilku.

"Mmmm ...." gumamku setengah bercanda. Tak lupa kutampilkan mata jenaka padanya.

"Ya udah kalau nggak mau. Berarti aku aja yang ke-ge-er-an. Menganggap kita memiliki rasa yang sama," ucapnya bersungut-sungut. Wajahnya berubah kecewa.

"Ha ha ha. Jangan marah donk, Ay!" ucapku di sela tawa. Kuraih jemarinya yang sempat menjauh dari tanganku. Senyum semringah kembali menghiasi wajahnya yang cukup tampan.

"Mana bisa aku marah sama kamu, Beb."

Suasana siang itu kian syahdu. Suara gemuruh hujan yang jatuh makin membuat kami larut dalam perbincangan panas. Bahkan saat usai mencuci tangan di wastafel, Zul berani mencium pipiku. Tak ayal, wajahku bersemu merah, bak udang rebus.

"Nakal ya!"

"Beb, aku bisa kasih lebih untuk kamu. Tanpa syarat," bisiknya di telingaku.

Bulu kudukku meremang. Napasnya menerpa cuping telingaku, menghadirkan sensasi aneh hingga ke debaran jantung.

Rasa yang sulit di deskripsikan oleh perasaanku.

Bersambung

Lanjut? Mohon kritik saran ya 🙏

RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang