Surprise

4.2K 61 4
                                    

Beberapa kali ponselku berdering. Nyali tiba-tiba menciut saat melihat nama yang tertera di layar. Mario. Kenapa dia harus telepon di nomor yang ini.

"Hallo, Bang ...." Aku setengah berbisik.

"May, kenapa teleponku nggak kamu balas? Udah ratusan kali abang telepon." Suaranya terdengar kesal dengan segala ocehan yang keluar secara runut.

Aku mendengkus kesal. Ini week-end, ada Mas Akhyar dan anak-anak di rumah.

"Bang, dengerin aku ya! Kita sudah sepakat tidak saling mengganggu saat akhir pekan! Lupa?" Aku sengaja membuat penekanan pada setiap kata-kata.

"Iya--abang tahu. Tapi besok abang pulang, May. Masa kita nggak bisa ketemu?" pintanya dengan suara memelas.

"Maaf, Bang. Aku tetap pada komitmen kita seperti dulu."

Mario terdengar menggeram, lebih tepatnya kecewa mungkin. Aku memasang telinga siapa tahu Mas Akhyar masuk ke kamar.

"Sorry, Bang! Aku matikan teleponnya. Jika tak ingin kublokir, jangan hubungi ke nomor ini lagi!" Aku memberi peringatan keras padanya. Percakapan ku akhiri sepihak. Menghapus riwayat panggilan, dan beranjak menemui anak-anak di dapur.

Tampak mereka sedang mengerumuni Mas Akhyar yang tengah menyiapkan sarapan. Pria berjanggut tipis itu tersenyum saat melihatku, senyuman yang menyejukkan. Aku segera duduk di sebelahnya, memperhatikan dengan takjub keterampilannya menyiapkan sarapan.

"Sayang, mau sarapan juga? Atau mau sarapan yang lain?" Mas Akhyar menggoda dengan senyum jenaka, lalu mengelus bahuku.

"Aku masih kenyang, Mas. Tapi kalau mau kasih sarapan yang lain, aku nggak nolak!" Aku balik menggoda. Seminggu ini Mas Akhyar menjelma jadi orang lain. Terutama saat di ranjang. Keahliannya hampir sama dengan Mario.

Pria itu tertawa saat mendengar ucapanku, kemudian mencium pipiku.

"Sabar ya, Sayang! Nanti biar anak-anak dijemput sama Hasan dulu. Karena mereka janji mau ke toko buku." Bulu kudukku meremang saat Mas Akhyar berbisik di telinga. Kemudian aku mengangguk, lalu mendongak menatap wajah tampan yang masih berada di dekat puncak kepalaku.

"I love you, Sayang." Mas Akhyar mengecup bibirku dengan lembut, sambil sedikit memainkan lidahnya. Aku menelan saliva, saat bocah-bocah protes karena nasi goreng mereka habis. Mas Akhyar dengan cekatan kembali menaruh nasi tambahan di piring mereka.

"Selesai sarapan, nonton tivi dulu ya! Sambil menunggu uncle Hasan! Papa mau nemenin Mama sarapan." Kata-kata Mas Akhyar disambut gembira oleh kedua jagoan kami. Dengan antusias mereka menghabiskan makanan yang tersisa di piring. Aku menyesap kopi buatan Mas Akhyar, manisnya sederhana, tapi bikin nagih. Itulah khas kopi buatan suamiku.

Usai membereskan piring kedua buah hati kami, pria itu menggeser kursinya lebih dekat denganku. Tatapannya membuat jantungku berdebar tak karuan. Ia meraih cangkir dalam genggamanku, lalu meletakkannya di meja.

"Sayang, udah siap untuk sarapan yang lain!" tanyanya manja. Aku tertawa lepas sambil mengelus pipinya.

"Emang mau berapa kali sih?" tanyaku tak kalah manja.

"Berkali-kali, Sayang!" jawab pria itu sambil meremas dadaku.

"Mmm ... masih ada anak-anak, Mas!" ucapku sambil mengerang lirih.

"Foreplay, Sayang!" Pria berjanggut tipis itu menolak protesku. Ia malahan menyelipkan jari-jarinya di balik bra yang kukenakan. Meski aku masih memakai daster satin bermotif bunga sakura. Ia terus bergerilya mencari puncak kecil payudaraku yang menegang. Mas Akhyar begitu menikmati eranganku, ia terus membuatku merasakan kenikmatan luar biasa.

"Mas ...." Aku mendesah lirih, kewanitaanku berdenyut menghamba.

"Ssst! Nikmati saja, Sayang!" ucap pria itu dengan lirih. Kali ini ia membuka satu kancing di bagian depan daster, lalu memasukkan tangannya ke dalam daster. Telapak tangan itu kembali meremas dadaku. Aku memejamkan mata, menikmati setiap sentuhannya. Kurasakan lidah Mas Akhyar yang basah menari di bibir, ia membuka bibirku dengan lidahnya. Kemudian menarik lidahku dengan lidah.

Aku hampir kehabisan napas, tanganku beralih meremas rambut ikalnya. Menahan desahan agar anak-anak tidak mendengar. Sayangnya permainan kami harus berhenti karena Hasan mengucapkan salam.

"Nanti dilanjut ya, Sayang! Tu Hasan sudah datang. Mas nyiapkan anak-anak dulu." Aku mengangguk pasrah, semakin cepat Hasan membawa anak-anak, semakin baik. Aku merapikan daster lalu berbasa-basi dengan keponakan Mas Akhyar.

Setelah anak-anak siap, Hasan pun membawa mereka pergi. Mata Mas Akhyar tampak liat saat menelanjangi tubuhku yang masih berbalut daster. Ia langsung menubrukku yang masih duduk di sofa ruang tengah. Tangannya liar membuka kancing daster. Kemudian bibirnya mulai menghujani wajah dan leherku dengan ciuman yang penuh gairah.

Aku segera menyelipkan tangan di balik kaos ketat yang ia kenakan. Meremas bahunya dengan nikmat. Aku benar-benar sudah kepalang basah. Aku memang jarang bisa merasakan kepuasan saat bersama Mas Akhyar. Tapi bukan berarti tidak menyukai permainannya.

Aku tak suka jika dia mempermainkan kewanitaanku dengan mulutnya. Aku lebih senang ia menyentuh dengan ganas. Ini akan makin membuatku cepat naik. Tampaknya kini Mas Akhyar sudah mulai lihai. Ia terus menyerang dengan ganas.

"Maaas ..." Aku mengerang cukup keras. Aku tak peduli jika masih berada di sofa, toh tak ada siapapun di rumah selain kami berdua. Pria itu menaikkan daster yang ku kenakan, menggelitik perutku dengan jari-jarinya. Sementara bibirnya terus membuatku kehabisan napas.

Kemudian tangannya meremas kewanitaanku yang sudah basah. Lalu menggesek-gesekkan batangnya yang masih terbungkus celana pendek. Batang itu begitu perkasa, gesekannya saja terasa nikmat. Aku menggelinjang, kemudian sebelah tanganku berusaha membuka kancing celana.

"Pelan-pelan, Sayang! Jangan sampai junior sakit," bisiknya nakal.

Aku berhasil membuka kancing, lalu memasukkan tangan dan memegang batang yang telah menegang dengan gagah. Kali ini giliran pria itu mengerang.

"Sa--yang, mmm ...." Ia terus mengerang sambil melumat bibirku dengan rakus. Aku suka permainanmu, Mas.

Aku memijat batang itu dengan lembut, genggam kemudian lepas, begitu seterusnya hingga beberapa kali. Ketika batang itu siap menembus kewanitaanku, seseorang menekan bel pintu rumah kami. Mas Akhyar mengerang kesal.

"Argh ... siapa sih bertamu pagi-pagi?" Aku tertawa melihat tingkah konyolnya.

"Biarin aja, Sayang! Biarkan tamu menunggu!" pintanya frustasi. Aku tahu ia sedang dalam posisi puncak, pasti rasanya kesal sekali, terganggu seperti ini.

"Buka dulu, Mas! Siapa tahu penting." Aku berbisik nakal di telinganya. Tak lupa menggigit cuping telinganya dengan bibir.

"Kamu aja yang buka, ya! Masa mas mau buka dengan junior yang begini?" Aku kembali tergelak.

"Dasar konyol kamu, Mas. Ya udah, biar aku yang buka. Mau tak omelin tu tamu. Nggak tahu apa, kalo Pak Akhyar lagi horny," godaku sambil memegang batangnya lagi. Ia segera berlalu ke kamar mandi, aku segera merapikan daster dan rambut yang acak-acakan. Kemudian bergegas menuju pintu.

Samar-samar hidungku mencium aroma parfum yang selama ini akrab. Tapi di mana? Aku merasa amat akrab dengan aroma ini. Tak ingin tamu menunggu terlalu lama, aku bergegas memutar handle pintu. Seorang pria tegap membelakangi aku yang tengah berdiri di ambang pintu.

Rambutnya legam tersisir rapi, tampaknya ia memakai kaca mata, terlihat gagang kaca mata nangkring di telinganya. Kemeja abu-abu yang dikenakan tak bisa menutupi lekuk bidang bahunya yang sempurna. Aku merasa mengenali bahu itu. Dan benar saja, aku memang mengenali pemilik tubuh tegap itu.

Darahku berdesir, jantung berdegup kencang. Mario.

"Kau ...."

(ㆁᴗㆁ✿)
*Hayo, Lo! Mau apa si Mario ke rumah Maya?

RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang