Part 4

384 29 43
                                        

Almiera Shofia Prameswary

Berlarian di taman penuh bunga beraneka warna, tawanya kian pecah saat aku kian dekat mengejar dan sesaat akan meraihnya. Ia menjerit tak ingin tubuhnya tersentuh. Larinya semakin kencang hingga ia berhenti untuk meraih tangan seseorang yang dapat ku lihat merentangkan menyambut kedatangannya. Aku hanya bisa terdiam melihat pemandangan bahagia dihadapanku, ada rasa iri melihatnya dalam hangat pelukan wanita itu, ia begitu bahagia. Sesaat kemudian, ia berbalik dan menatapku, tangan mungil melambai mengucap perpisahan di balik senyumnya, wanita itu pun melakukan hal yang sama. Tak ingin wanita itu membawanya, aku mulai mengejar, berjalan perlahan hingga akhirnya berlari kencang.

Peluh bercucuran, keringat dan tetes air mata menjadi satu, nafas tersengal memburu.

Ku tutupi wajah dengan kedua telapak tangan, tak sanggup menahan rindu untuk bertemu. Tetes demi tetes tetap tak terbendung, begitu juga dengan suara yang pada akhirnya membuatnya terbangun.

"Loh, Nda, kenapa?"

Aku tak memberi waktu bagi Angga untuk sekadar melihatku seperti ini, bersedih belum sepenuhnya memaafkan diri sendiri. Ku benamkan wajah dalam dadanya, ia mengerti bahwa hanya belaian yang saat ini mampu memberi energi agar aku mampu kembali berdiri.

Hening, tangis mulai terhenti sementara Angga mulai bertanya kembali.

"Nda, kenapa? Mimpi buruk?"

Aku tak menjawab, juga tak berani menatap matanya. Rasa bersalah itu masih ada di sana.

"Ya udah, tidur lagi aja, yuk?"

"Yah, aku pengen minum dulu."

"Ya udah, aku ambilin."

Seraya menunggu Angga kembali, aku berusaha menenangkan diri. Waktu menunjukkan lebih dari pukul tiga dini hari, hanya tinggal sesaat lagi menuju pagi. Beberapa saat kemudian, ia datang dengan membawa dua buah gelas di tangan. Selain air putih, ia juga membawakanku teh hangat.

Angga membelaiku seperti biasa, berusaha membawaku kembali meraih mimpi. Tak seperti sebelumnya, kali ini aku lebih memilih memosisikan diri untuk mendekapnya dan menjadikan dadanya sebagai sandaran. Aku lebih memilih untuk tak memejamkan mata kembali, dan sampai fajar mulai hadir hingga meninggi aku tak ingin merubah posisi. Mungkin inilah yang dirasakan olehnya dulu. Rasa nyaman, tenang juga bahagia.

Malu pada mentari yang sejak tadi telah hadir dan terus menerus meninggi, aku mulai beranjak untuk membersihkan diri dan Angga mengikuti bahkan hingga ke kamar mandi.

"Yah, kok ngikutin?"

Angga menatapku, entah apa yang ia pikirkan saat ini.

"Loh, emang kenapa? Kan biasanya juga gak apa-apa."

Aku mendorongnya keluar, tentunya dengan sikap manja.

"Ih, lagi gak pengin."

Angga mengalah, ia keluar. Aku menutup pintu kamar mandi lalu menguncinya dari dalam, tak ingin kesendirian ku terganggu untuk sementara waktu.

Maaf, aku ingin mengenangnya untuk sesaat sampai guyuran air sanggup meruntuhkan semua kenangan buruk yang telah menjadi beban. Air mulai mengalir, turun dari atas shower melewati seluruh lekuk tubuh kemudian berakhir dalam lubang saluran menuju parit kecil hingga berujung pada sungai yang tak jauh dari komplek rumah. Bersamaan dengan hilangnya air itu, hilang juga air mata yang tercampur ketika kesedihan itu mulai membeku oleh air yang mengguyur sekujur tubuh.

Beuntung hari ini adalah hari libur, sehingga aku bisa sedikit menenangkan diri lebih lama.

Berdiri di hadapan cermin menempel di dinding di atas wastafel yang masih berada dalam kamar mandi, aku mencari sebuah kejujuran di sana tentang keadaanku saat ini. Berantakan? Tentu saja tidak. Aku yang merasa akhir-akhir ini harus sering mengeluarkan tenaga ekstra untuk menjalani hari, merasa telah begitu banyak membuang lemak sehingga mulai lebih kurus. Namun sayangnya, cermin dihadapanku tak pandai berbohong, ia begitu jujur memperlihatkan bulatan pipi yang ku rasa semaki menebal di kedua sisi.

BEFORE... AWAKENING (Eps. 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang