Part 1

961 35 29
                                    

"Mas."

Suara teriakan berasal dari dalam, tepatnya dari dalam kamar mandi. Mira sedang berada di sana untuk memuntahkan hampir semua isi perutnya, hingga ia menangis lemas.

Aku membuktikan tekad. Aku datang dengan cepat bagaikan pahlawan yang siap membela kebenaraan.

Melihat Mira dengan kondisi seperti itu, Aku langsung menggendong lalu membawanya ke kamar untuk di istirahatkan. Tentunya setelah aku memastikan bahwa Mira sudah tak merasakan mual lagi. Pengalaman pernikahan pertamaku dengan Viona begitu membantu pada kondisi seperti ini. Ke duanya memang merasakan kondisi kehamilan yang memang berbeda, tak seperti pada Viona, kehamilan Mira jelas jauh lebih merepotkan.

Sebenarnya aku merasa kasihan, tak tega melihat Mira dalam kondisi seperti sekarang ini, namun aku tak ingin gagal lagi menjadi seorang Hot Daddy, dalam hati, aku selalu bertekad takkan mengulangi kesalahan yang sama, dan akan berusaha keras menjadi lebih sempurna.

Kejadian yang menimpa Viona dan Syafina, setidaknya memberikan trauma, namun untuk saat ini aku masih sanggup untuk berdiri. Aku masih teringat betul dengan kejadian setelah kepergian Syafina, bayangan perih pada pipi setelah mendapat tamparan dari Ana membuatku tersadar bahwa aku berjuang tak pernah sendiri, untuk itu selama masih ada orang yang berjuang demi diriku, aku pun akan melakukan hal yang sama, bahkan mungkin lebih dari itu.

"Mas."

Mira masih terbaring lemah, Selama beberapa hari ini tubuhnya jarang terisi asupan makanan yang cukup, beruntung pada jaman seperti sekarang ini sudah banyak nutrisi untuk perempuan yang sedang mengandung dalam bentuk minuman yang mudah di serap tubuh.

Tak hentinya aku membelai rambut Mira yang tergerai semakin panjang, senyum tak pernah lepas dari wajah, aku begitu bahagia bisa mendampingi Mira walau harus rela kehilangan waktu istirahatku.

"Kayaknya, aku pengen makan martabak, Mas."

Refleks aku melihat jam di salah satu dinding kamar. Jarumnya tepat menunjukkan pukul 01.47 dini hari, yang menandakan bahwa kemungkian masih ada pedagang yang berjualan sangatlah kecil.

"Nda, jam segini mana ada yang jualan."

Aku berusaha memberi pengertian agar Mira mengurungkan keinginannya.

"Iya, tau, tapi ini bukan aku yang pengen, Mas. Ini dedenya yang minta, loh."

Aku tak bisa membantah, kalimat terakhir itu jelas sebuah penekanan perintah tanpa boleh di bantah. mau tak mau aku bergegas mencari apa yang Mira inginkan, walau tak yakin akan mendapatkannya pada jam-jam seperti ini. Aku sebenarnya tau Mira takkan memakan makanan yang ia inginkan sekarang ini, sama seperti beberapa hari lalu saat siang di tempat kerjanya, ia ingin membeli buah semangka, padahal Mira tak terlalu suka dengan buah itu namun demi menjaga kesehatan fisik dan psikisnya yang bisa saja mempengaruhi janin dalam kandungannya itu, dengan terpaksa aku menuruti kemauannya, dan alhasil setelah buah itu di dapat, Mira hanya makan satu suapan saja, itu pun harus di muntahkannya lagi, namun aku mengerti kondisinya saat ini sehingga aku tak tersinggung dengan sikap Mira. Selama dalam masa kehamilan, Mira akan ku perlakukan bagai ratu, permintaannya adalah titah, seberat apapun, aku akan tetap menurutinya.

Dalam gelapnya suasana malam yang telah lewat berganti dini hari menuju pagi, aku berkeliling dengan sepeda motor ke tempat-tempat yang biasanya banyak pedagang berjualan di pinggir jalan, berharap masih ada pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya pada jam-jam seperti ini.

Suasana begitu sepi, kendaraan yang biasanya berlalu lalang di siang hari kini mungkin telah terlelap terbawa mimpi, bersama dengan para pemiliknya. Sudah cukup jauh aku berkeliling, namun aku tak juga menemukan apa yang di cari. Namun usaha takkan mengkhianati hasil sedang ku rasakan saat ini. Dari jauh, terlihat seseorang tengah duduk di kursi di belakang gerobak dagangannya, pada gerobak itu tertulis dengan huruf kapital besar, MARTABAK BANGKA. Aku berhenti dengan senang hati, juga pasang wajah sumringah dengan senyum lebar. Para penjual martabak sudah sangat lumrah apabila tak hanya menjual satu jenis martabak saja, varian rasa dari yang manis hingga gurih tersedia. Aku memutuskan untuk membeli dua macam rasa yang berbeda, karena hari pagi hanya tinggal beberapa jam lagi, yang gurih akan di nikmati nanti sebagai teman secangkir kopi.

BEFORE... AWAKENING (Eps. 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang