Almiera Shofia Prameswary
Untuk pertama kalinya aku melihat luka itu, luka dari keinginanku sendiri. Lukanya memang tak begitu dalam, namun akan menimbulkan bekas luka di sana.
Menatap cermin besar di kamar, aku menatap diri sendiri. Semakin hari, wajah dan tubuhku semakin berubah. Sekilas memang tak terlihat bagi orang-orang yang setiap hari melihat atau bertemu denganku, namun bagi yang jarang bertemu, mereka pasti tak menyangka dengan perubahanku saat ini.
"Apa Angga akan tetep sayang sama aku?"
Muncul pertanyaan dalam diri yang juga untuk diri sendiri.
"Nak, kenapa? Ko melamun?"
Suara ibu mengagetkanku. Ibu masuk ke kamar dengan membawakan minuman dalam gelas diatas nampan, setiap malam ia membuatkanku susu untuk menambah nutrisi agar kesehatanku serta bayi dalam kandungan terpenuhi, Ibu benar-benar membantu semua urusan kami. Namun terkadang aku merasa kasihan, karena ketika aku bekerja, Ibu tak ada yang menemani, tapi Ibu mengerti, baginya ketika bisa bersama kami saja merupakan kebahagiaan tersendiri.
"Bu, aku boleh nanya sesuatu gak?"
Ibu melihat ke arahku seraya menaruh minuman yang ia bawa di atas nakas di samping tempat tidur. Sepertinya ibu mengerti apa yang sedang aku alami, karena mungkin saja dulu Viona pun mengalami hal yang sama.
"Kita ngobrolnya di sini."
Ibu menyuruhku untuk duduk di sampingnya, di atas ranjang kamarku. Namun ternyata ibu menyuruhku untuk merebahkan diri, sementara ia menyangga punggungnya dengan dua buah bantal yang menghalangi tubuhnya dengan ujung ranjang. Salah satu tangannya mulai membelai rambutku yang tergerai. Perasaan ini pernah ku alami ketika aku masih remaja dan masih begitu dekat dengan mama. Kasih sayang seorang ibu yang begitu hangat.
"Apa yang pengen kamu tanyain sama Ibu?"
Sejenak aku terdiam, menimbang kembali akibat dari apa yang akan aku tanyakan padanya, karena bisa saja pertanyaan itu kembali membawanya pada rasa sakit yang mungkin saat ini mulai memudar.
"Tentang Viona?"
Melihatku yang hanya terdiam tanpa kata, Ibu berusaha menebaknya. Aku menatap Ibu, memastikan bahwa tak ada tanda-tanda terluka dari sorot matanya. Setelah yakin, aku bisa lebih leluasa bertanya tentang pengalaman Ibu ketika mengandung Viona, pengalaman Ibu ketika merawat Viona yang waktu itu tengah mengandung Syafina, serta pemgalaman lainnya yang berhubungan dengan kehamilan.
"Iya, Bu, apa Viona pernah ngalamin hal yang sama kayak aku sekarang, Bu?"
Ibu terdiam, raut wajahnya tersenyum, sepertinya ia mengingat kenangan indah tentang apa yang ku tanya. Namun akhirnya ia menggeleng.
"Enggak, kehamilan Viona normal-normal aja, waktu hamil dia cuma ngerasain pusing, mual-mual sama pengen muntah aja, tapi itu juga cuma beberapa hari, gak lama."
Ia menjelaskan begitu rinci tentang awal kehamilan Viona.
"Apa itu berarti kehamilanku agak kurang normal, Bu?"
"Gak gitu juga nak, setiap perempuan yang pernah mengandung memang punya pemgalaman beda-beda, ada yang biasa saja ada yang jauh lebih rewel dari yang kamu alami saat ini. Tapi dulu, waktu Ibu mengandung Viona, Ibu juga agak rewel sih."
Aku tersenyum, entah kenapa rasanya begitu senang memiliki kesamaan dengan Ibu.
"Jadi waktu hamil, Ibu juga ngalamin gak enak kayak aku?"
"Iya, jadi Ibu mengerti apa yang kamu rasain sekarang."
Tanpa sadar aku memeluk Ibu dengan erat. Ada rasa lega dalam dada, juga motivasi untuk berusaha menjadi lebih kuat lagi. Namun tiba-tiba, aku teringat dengan sesuatu yang membuatku penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEFORE... AWAKENING (Eps. 2)
RomansaMasa-masa awal kehamilan memang tak menyenangkan, setidaknya untuk Mira, walaupun sebenarnya Angga pun merasakan hal yang sama, namun bebannya tak terlalu berat dibandingkan dengan apa yang Mira alami saat ini.