Almiera Shofia Prameswary
Kehadiran teman-teman lama membuat ia bisa tersenyum bahagia, senyum yang beberapa waktu ini selalu diselimuti rasa lelahnya untuk menjagaku serta calon bayinya. Ibu memberi nasihat, agar hari ini aku membiarkan Angga melepas rasa lelahnya dengan cara berbagi cerita yang mungkin dulu pernah ia rasa bersama mereka, aku menyetujuinya semata-mata karena aku percaya ia adalah laki-laki yang baik serta penuh pengertian.
Ku dampingi ia di sana untuk sesaat, mendengar cerita nostalgia serta pengalaman berharga mereka, sampai pada akhirnya satu kalimat itu membawanya pada duka yang selama ini selalu berusaha ia tutupi. Genggaman tanganku semakin erat, tanpa kata berusaha menopang hatinya yang masih terasa rapuh. Ia menatapku seolah berkata "aku baik-baik saja."
Namun ternyata, sahabat lainnya mengerti apa yang seharusnya tak boleh terjadi. Mereka mengalihkan pembicaraan pada suatu hal yang menyenangkan. Dirasa suasana telah kembali ceria seperti semula, aku dan Ibu beranjak pergi meninggalkannya, ingin memberinya masa untuk bernostalgia.
Berjalan dengan menggandeng tangan Ibu membuatku merasa seperti anaknya sendiri, bahkan tanpa canggung aku sering bermanja ria bersamanya. Keluargaku yang jauh di sana sebenarnya sering memberi kabar melalui media, namun itu saja tak cukup menghilangkan rasa rindu pada mereka, sehingga Ibu lah yang menjadi obat dikala rindu itu datang menyerang.
Mulai mencoba merajut mata tanpa belaian darinya. Lampu kamar ku matikan seperti biasa, di ganti cahaya temaram lampu malam. Sedetik dua detik berlalu hingga melaju berganti menit, aku tak juga bisa memejamkan mata, tak ku sangka kehilangan belaian membuat tubuh ini menolak untuk melelapkan dirinya.
"Dek, belum mau bobo ya? Bunda juga sama, apa kita nyari Ayah aja ya Dek, biar kamu sama Bunda di belai."
Ku putuskan untuk mencari Angga di sana, berharap ia telah selesai dengan nostalgianya bersama mereka.
Langsung ku ambil sweater tergantung pada kapstok di samping lemari pakaian, lalu ku kenakan untuk mengurangi terpaan dinginnya angin malam. Ibu telah tertidur, dan yang berada di seberang sana pun sepertinya dalam keadaan yang sama.
Langkah demi langkah mulai memecah sunyi suasana hingga tak butuh waktu lama untuk sampai di sana. Namun sunyi itu hilang, berganti suara samar obrolan seseorang di sana. Tak terdengar jelas namun berarti bahwa ada yang belum terlelap diantara mereka, dan tentunya salah satu diantara mereka adalah Angga.
Merenung ragu tepat di depan pintu. Ku tarik nafas dalam sebelum akhirnya pintu itu terbuka bersama sosok yang ku cinta. Ia tersenyum, bukan sandiwara untuk menutupi semua. Untuk saat ini, aku hanya akan diam, menunggu ia memberi penjelasan, karena aku yakin ia melakukan itu bukan tanpa alasan. Dalam hati masih meyakini bahwa ia takkan mampu menyakiti ikrar yang telah sepenuhnya ku beri.
Akhirnya, kami pulang bergandengan mesra dan aku pun bergelaayut manja, meminta janji bahwa setiap hari ia takkan pernah melewatkan belaian. Ia mengerti itu semua, ia benar-benar tahu cara memberi kenyamanan bagi wanita, beruntungnya ia tak mengumbar apa yang ia bisa, sehingga aku lah wanita paling beruntung dilayani bagai ratu olehnya.
Dalam remang cahaya lampu kamar, ia mendekapku seperti biasa. Usapan lembutnya telah menjadi candu. Terbukti, cukup dengan hanya beberapa menit saja mata mulai terasa berat, dan akhirnya terlelap. Namun itu hanya sesaat, kehilangan rasa nyaman membuat mata ini kembali terjaga, ia menagih apa yang membuatnya terlelap tadi. Ku lihat, Angga tengah duduk di balik meja kerja dalam kamar memunggungi tempat tidur. Sorot cahaya dari laptop yang sedang menyala bisa sedikit terlihat memancar menerpa wajahnya. Untuk sesaat, aku membiarkan ia menikmati apa yang ia lakukan, namun aku pun ingat bahwa tugas seorang istri salah satunya adalah menjaga dan memastikan bahwa suaminya akan baik-baik saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
BEFORE... AWAKENING (Eps. 2)
RomanceMasa-masa awal kehamilan memang tak menyenangkan, setidaknya untuk Mira, walaupun sebenarnya Angga pun merasakan hal yang sama, namun bebannya tak terlalu berat dibandingkan dengan apa yang Mira alami saat ini.