Rumor

2.4K 193 0
                                    

Jam makan siang tinggal beberapa menit lagi. Aku merentangkan tanganku memulihkan otot-ototku yang pegal luar biasa. Laporan belum selesai dan pekerjaanku semakin bertambah kala Pak Aryan keluar dari ruangannya dan memberikan setumpuk berkas yang harus aku periksa.

Kalau bukan karena pekerjaan, aku bakal protes keras. Tapi ya balik lagi, ini pekerjaanku. Aku yang menginginkannya dan aku pula yang harus bertahan bagaimanapun juga. Terlebih di jaman moderen kayak gini nyari kerjaan susah banget. Terbukti dengan aku yang menganggur satu tahun.

Hari ini, aku dan ketiga wanita di hadapanku yang sudah berdiri manis menunggu aku yang tengah menyelesaikan laporan mengajakku untuk makan siang di warteg dekat kantor.

"Udah selesai? Laper nih gue, ngebayangin semur jengkol di warteg itu. Ngiler deh!" Mbak Trista udah memasang ekspresi ngilernya.

"Wah, Tris! Lo hamil lagi?" Tanya Mbak Anes.

"Enggaklah. Emang ngidam harus hamil dulu apa? Ayo deh ke warteg keburu jam makan siang abis." Ajak Mbak Tris.

Aku berjalan beriringan dengan Mbak Lia yang sedari tadi hanya mendengus. Sedangkan untuk para lelaki mereka memilih makan di kubikel dengan memesan makanan lewat Parjo alias OB kantor.

Aku berseru senang ketika warteg yang aku kira warteg yang sering aku temui yang cuma muat beberapa orang ternyata itu salah. Warteg yang di maksud Mbak Tris dan Mbak Anes adalah rumah makan yang tempatnya cukup luas. Ada meja dan kursi seperti rumah makan kebanyakan. Aku pikir ini sih kaya bukan warteg, ah tapi apa bedanya sih yang penting aku bisa makan.

"Kita pilih tempat disana aja ya, lebih leluasa." Kata Mbak Lia menunjuk tempat dekat kolam air.

Kami semua mengangguk setuju dan langsung saja melesat kesana duduk manis. Aku memesan nasi putih dengan sayur asem plus tempe goreng. Menu kesukaanku dan sekarang aku jadi kangen Ibu. Haduh!

"Eh, lo semua tau rumor gak?" Celetuk Mbak Anes tiba-tiba membuat aku penasaran.

"Rumor apa, Mbak?" Tanyaku.

"Apa? Lo masih penasaran sama direktur perusahaan kita? Kan udah gue bilang direktur kita itu Pak Raska." Kata Mbak Trista.

Hah? Maksudnya gimana sih? Rumor tentang siapa?

"Salah! Meskipun Pak Raska direktur, tapi dia itu orang yang di tunjuk buat mimpin perusahaan Scat Corp. Yang artinya masih ada orang lain yang berarti pemimpin perusahaan ini? Presdir misalnya," Mbak Anes berucap yakin.

Ah masa sih? Kalau memang ada orang lain sebagai pemilik perusahaan, pasti orang itu bakal datang ke kantor. Tapi selama aku disini, aku belum pernah liat.

"Kalian ini jangan gosipin yang belum jelas apa kebenarannya." Kata Mbak Lia memperingatkan kami.

"Ih, masa sih? Mbak Anes, yang bener kalau kita punya pemimpin lain selain Pak Raska? Siapa sih? Ada fotonya?" Tanyaku lagi.

Gini-gini juga aku orangnya kepo. Apalagi kalau udah menyangkut CEO yang sering aku baca di Novel Chicklit ataupun Roman. Entah kenapa aku bayanginnya kalau pemilik Scat Corp itu CEO muda yang banyak di taksir dan pastinya incaran kamu hawa. Aku salah satunya.

"Ada. Gue pernah liat di lantai 17 di ruangan khusus pemilik Scat Corp, tapi itupun cuma sekilas aja. Jadi gue lupa," kata Mbak Anes.


"Ngapain lo kesana, Nes? Pak Raska tidak mengizinkan siapapun datang ke lantai itu." Tanya Mbak Lia.

Mbak Anes mengedikkan bahunya. "Lupa, yang jelas gue kesana disuruh Pak Raska ngambil berkas gitu. Eh tapi bener deh! Ruangannya itu enak banget, tapi rada serem juga hawanya. Apa karena si pemiliknya gak pernah keliatan batang hidungnya ya? Abisnya yang pernah ketemu cuma petinggi perusahaan doang. Macem Pak Aryan gitu,"

Miss Red HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang