manusia udik

67 13 0
                                    

Bintasa bab 2: manusia udik

Di sepanjang jalan mereka berdua hanya diam. Tenggelam dalam hiruk pikuk transportasi metropolitan. Angkasa fokus mengendarai vespa miliknya dan Bintang melamunkan hal di atas vespa milik Angkasa.

Sampai akhirnya Bintang merasakan vespa milik Angkasa berhenti. Bukan di lampu merah, melainkan di sebuah toko tua yang tutup. Entah mengapa hati Bintang berderu kencang. Dia takut terjadi apa apa dengan dirinya.

"Kamu gak menjebakku kan? Maksudmu apa?" Bintang mulai panik saat Angkasa menjalankan vespanya masuk.

"Aku enggak akan melakukan hal tabu. Aku cuma mau melihat senyummu," Angkasa membelai rambut Bintang secara perlahan.

Bintang masih tak percaya. Dia takut. Bahkan sangat takut. Akhirnya dia menepis tangan Angkasa dari keningnya. Angkasa diam.

"Kamu jangan takut. Kalau aku menyakitimu, silahkan bunuh aku saat itu juga. Kalau aku melakukan hal yang sebenarnya tak boleh aku lakukan, silahkan jangan beri aku ampun," Bintang tetap menggeleng.

"Aku mau pergi. Cukup sampai disini saja cerita kita. Aku sudah enggak percaya," saat Bintang hendak pergi, tangan Angkasa menggenggam tangannya erat.

"Tunggu."

Bintang menunggu Angkasa. Hati kecil Bintang mengatakan tak akan terjadi apa apa padanya. Tapi Bintang masih curiga. Sampai akhirnya Angkasa datang membawa sebuah gitar akustik.

"Sekarang kamu percaya kan kalau aku bukan mau membohongimu?"

"Iya," hati Bintang lega sekali.

"Ayo kuajak kamu ke suatu tempat yang bagus untuk mengamati siluet senja."

***
Vespa abu milik Angkasa di tukar menggunakan mobil klasik tua yang masih bagus nan indah. Alasan Angkasa menukarnya karena dia kepanasan.

Akhirnya mereka berangkat ke tempat yang mereka tuju. Mobil klasik itu berhenti di suatu tempat yang masih asri. Enak dipandang menggunakan mata sendiri. Dan terlebih masih sepi.

"Aku suka disini. Menikmati siluet senja dengan menikmati kopi dan mendengarkan podcast soal puisi," Angkasa bercerita.

"Aku juga suka. Tapi aku enggak disini, aku di balkon rumahku sendiri. Disana aku..." belum selesai Bintang berbicara Angkasa menyelanya.

"Sudah, enggak perlu di lanjutkan. Soalnya aku tahu setelahnya pasti ada Sean di dalam ceritanya."

"Hebat kamu."

"Sudahlah. Daripada bahas Sean, aku mau menyanyikan suatu lagu kesukaanmu pastinya."

***

"Sudahlah. Daripada bahas Sean, aku mau menyayikan suatu lagu kesukaanmu pastinya," ujarnya santai.

Aku tak percaya karena manusia udik itu bisa romantis juga. Kukira hal romantis yang bisa dia buat hanya membawa perempuan idamannya keliling kota saja menggunakan vespa miliknya. Mendengarkan podcast dan membelikan apa yang di sukai perempuan itu.

"Aku bisa romantis. Aku enggak cuma keliling kota menggunakan vespa, mendengrkan podcast, dan belikan buku saja. Tapi aku juga bisa menyanyikan lagu soal senja," katanya seolah bisa membaca pikiranku.

Ah yaampun Tuhan. Terimakasih sudah menciptakan manusia yang istimewa diantara semua cerita. Aku bahagia. Bahagia bisa bersamanya walau tak ada hubungan yang mengikat kita selain kawan. Terimakasih sudah membuat hariku semakin utuh. Terimakasih sudah memberikan waktu berhargamu untukku.

Angka mengambil gitar dan meletakkan di pangkuannya. Aku duduk di sebelahnya. Di atas atap mobil pastinya.

"Ini baru kita. Penikmat senja diatas mobil tua," ucapnya.

Dia mulai memetik gitarnya dengan pelan. Aku sudah bersiap mendengrkan suaranya. Tak peduli merdu atau tidak.

Jingga menyala
Warna langitnya
Saat senja saat senja
Memanjakan kita

Duduk bersama
Diskusi rasa
Saat senja saat senja
Bertukar cerita
Ceritakan masalahmu dan lepaskanlah
Apa yang kau rasakan...

Suaranya sangat merdu. Aku tersenyum memdengarnya. Aku ikut andil bagian menyanyikan salah satu lagu Fourtwnty itu.

Masih disini
Dan tetap disini
Lewati senja berganti malam
Diskusi sampai disini

Jangan tenggelam
Di dalam masa masamu yang kelam
Dan percayalah roda pasti berputar
Cahaya terang datang

Aku dan Angka segera melanjutkan lagu diskusi senja itu. Bersama senja yang menemani dan petikan gitar Angka yang melengkapi.

Aku disini
Tempat berbagi
Saat senang saat susah
Ku tetap disini

Angka tersenyum melihatku. Aku juga membalas senyumnya yang penuh dengan kedamaian.

"Bintang."

"Ya?"

"Petualangan kita libur dulu ya? Jangan heran kalau besok aku enggak kasih kamu sesuatu yang istimewa. Jangan heran kalau aku enggak menjemputmu. Jangan heran kalau aku besok enggak ada dalam bus. Dan jangan heran kalau aku enggak ketemu kamu."

"Maksudmu apa?" aku heran kenapa dia bisa berbicara semacam itu. "Kita sampai disini?"

"Bukan." dia menghembuskan napas berat. "Aku ada keperluan diluar kota. Aku pergi buat beberapa hari saja. Berat rasanya tapi mau diapakan lagi? Kamu disini baik baik ya, jaga diri jangan sampai sakit."

"Angka jangan pergi. Yang menemaniku disini nanti siapa?" aku meremas kemejanya kuat kuat seakan tak mau lepas darinya.

Kenapa? Kenapa bisa begini jadinya? Aku bertemu dengannya baru dua hari saja. DUA HARI SAJA. Tapi ditinggal beberapa hari saja sakit rasanya. Ini semua ada apa? Tuhan tolong jelaskan alasannya mengapa? Aku takut ini ada apa apa.

"Aku pasti akan kembali. Aku janji pasti mengabarimu kok. Jangan takut ya? Aku enggak suka lihat kamu takut," aku diam dan wajahku panas.

Wajahku memanas. Aku menunduk tak berani menatap Angkasa lagi. Sepertinya air mata ini mau mengalir. Kutahan seberapa aku bisa.

"Aku mau pulang."

"Ayo kuantar kamu pulang."

***
Di perjalanan hanya hening yang tersisa. Di mobil tua hening nan sepi merajalela. Aku diam. Angka pun sama. Aku hanya mampu mengamati sorot lampu kota yang terang benderang. Hatiku tak sebenderang lampu kota. Hatiku mati kali ini. Tak bisa membayangkan di hari esok tanpa hadirnya manusia udik.

Tak terasa mobil tuanya sudah berhenti di teras rumah. Angka memberikan jam tangan hitam miliknya padaku.

"Bawa ini. Pakai ya?"

"Jam tangan?"

"Iya jam tangan. Ini milikku. Kutitipkan padamu agar kamu bisa menghargai waktu."

Aku menggeleng tak paham. "Maksudmu?"

"Aku segaja menitipkan ini agar kamu bisa melihat dan menghargai disetiap waktu. Kamu jangan terus menerus memikirkan kepergianku. Waktumu gunakan pakai hal yang baik. Jangan terus menerus memikirkan hal yang enggak penting ya? Kayak biasanya, aku enggak suka," mendengar semua kalimatnya hatiku sudah mulai merasa tenang.

Aku percaya. Percaya akan takdir dan waktu yang sudah Tuhan ciptakan sedemikian rupa. Tinggal dilihat saja bagaimana nanti kita sendiri yang menyikapinya.

Ku genggam erat jam tangan hitam milik Angka. Aku tersenyum tulus padanya. Dan segera menitipkan salam terakhirku untuknya.

"Kamu hati hati ya besok. Jaga kesehatan. Waktumu juga jangan kamu sia siakan. Hargai waktu yang ada," ucapku.

"Iya kamu juga. Doakan aku berhasil ya disana. Kalau aku berhasil, nanti hasilnya kita bisa bagi berdua," aku hanya mengangguk.

Aku tak tahu yang dia maksud berhasil dalam apa. Aku tak peduli. Yang terpenting dia bisa kembali lagi.

Aku turun dari mobil. Menengoknya yang masih ada di depan rumahku ketika kuintip dia dari kamarku. Sepersekian detik akhirnya mobil tuanya bergerak pergi dari rumah dan bersiap membelah jalanan Kota Pahlawan.

***






Angkasa RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang