pamit

35 4 4
                                    

Bab 11: pamit

Hampir sudah aku menghabiskan enam hari disini. Di tanah Maratua. Tanah yang istimewa. Pagi ini Sean mengajakku menaiki yacht dan berkeliling di Pulau Maratua ini. Bulan sudah bersiap sedari tadi. Aku selama enam hari ini merasa kalau sikap Bulan aneh, sedari awal. Entah ada apa gerangan, tapi yasudahlah.

"Bang, apa kabar?" sapa Sean pada seorang laki-laki bertubuh kekar yabg menghisap rokok itu.

Lelaki itu menoleh dan langsung tersenyum melihat Sean. "Hai! Bagaimana kabarmu? Kemana saja kau?"

"Baik, Bang. Saya di Surabaya menyelesaikan semuanya."

"Semua hampir selesai. Sekarang kau tinggal menunggu hari H saja."

"Saya kemari mau menyewa yacht milik Bang Samosir. Boleh ya, Bang?"

"Oh iya, ini silakan silakan. Bawa calonmu itu," lelaki itu melirik Bulan sekilas.

Tampak wajah Bulan segera menunduk dan Sean pun hanya diam memaku. Calon? Maksudnya? Ada apa ini sebenarnya? Kalau seandainya Bulan calon dari Sean, lalu aku siapanya sehabis ini? Jangan jangan...

"Ayo, Bintang," Sean menggenggam tanganku dan menggandengku menuju yacht.

Bulan di belakang hanya menunduk sedari tadi. Ada apa sih?

***
Bintang duduk bersama Sean. Hendak menikmati keindahan samudera dan zamrud khatulistiwa. Sedangkan Bulan, ia bersengkama bersama Bang Samosir di balik badan Bintang dan Sean. Tiba-tiba Bintang ingat sesuatu.

"Sean?"

"Ha?"

"Kalau perempuan tulus tapi dia di sakiti terus menerus apa yang harus dia lakukan selain sabar dan mundur?"

Sean diam sejenak, "Pasrah boleh juga."

"Tapi kalau saat dia berpasrah hari ini bisa jadi esok hari semesta bekerja memberikan yang lebih baik kan?"

"Tapi mana kita tahu. Iya kalau besok, kalau besoknya besok ketika dua tahun lagi gimana?"

"Makannya setiap manusia harus optimis. Ada cerita nyata yang bilang, ada seorang yang setia tapi kesetiaannya pernah di pinjam orang lain. Berharap dikembalikan, tapi kesetiannya nggak pernah pulang. Terus gimana?"

"Kalau aku jadi seorang yang setia itu, mungkin kali ini aku bakalan ngelemparin apa aja ke samudera ini," tukas Sean menerawang jauh langit semesta.

"Kenapa harus ke samudera?"

"Kalau di tanah, ada kemungkinan kalau bisa mengambil luka lagi. Tapi kalau di samudera bisa tenggelam dan nggak akan bisa diambil lagi."

"Kalau ada kekuatan semesta, semua yang di tenggelamkan ke dasar samudera akhirnya bisa kembali ke asalnya dan berpulang bagaimana?"

"Aku enggak percaya."

"Kenapa?"

"Ya aneh aja gitu."

"Oh," Bintang melirik sekilas samudera itu dan berniat sesuatu.

***

Kukeluarkan kaset berisi suara manusia udik yang lama telah pergi entah berevolusi kemana. Aku berjalan ke tepi yacht dan menggenggam kuat kuat kaset itu. Seperti kata Sean, semua luka wajib di tenggelamkan selagi bisa dan ada kesempatan. Dan inilah kesempatanku, aku berdiri diatas yacht dan menyusuri samudera luas. Berharap lukaku terkubur bersama nyanyian rindu dari manusia itu.

Angkasa, aku lelah. Aku ingin mundur saja. Disana kamu harus bahagia dan baik baik saja. Ups, aku lupa kalau memang bahagiamu bukanlah denganku seorang. Angkasa, aku tahu kamu pasti tahu apa yang mau aku lakukan terhadap pemberianmu ini. Tapi pikirku, kalau kusimpan terus sama saja aku menyimpan luka. Karena mendengar nyanyian suraumu yang inginnya tak begitu sebenarnya menambah suramnya hidupku. Setiap mendengar suaramu, aku terlalu rindu akhirnya berhasil menyayat hatiku yang sudah ribuan kali disayat. Aku tak mau menyakiti diriku sendiri. Jangan cari aku lagi. Kumohon, aku bisa hidup tanpa Angkasa. Aku bisa!!!!

Angkasa RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang