Berlayar dan Berpergian

38 5 1
                                    

Bintang sudah sedari 3 jam yang lalu terbangun dari alam mimpi. Ingin terbangun menjemput waktu yang masih menjadi misteri. Akankah dia baik? Atau malah banyak derita yang dia tanggung sebagai karma karena sudah mengingkari janji? Bintang diam tak mampu apa apa. Pagi ini dia duduk sendiri di teras rumah. Kepergian Kejora lima menit yang lalu sudah membuat suasana rumah menjadi runyam. Kejora berangkat ke rumah Alya yang ada di Yogya menaiki kereta. Sedangkan Bintang hari ini mau ke Maratua bersama Sean. Ingin membuka semua yang masih tertutup. Ingin segera memulai dari yang masih terlampau. Ingin segera menetapkan pilihan dari pilihan semu. Semuanya akan Bintang utarakan. Mungkin kalau Sean pergi, dia juga pergi. Mungkin kalau Sean masih diam biar Bintang yang memulai. Mungkin kalau kedua insan sedang terluka biarlah mereka sendiri yang berusaha untuk melupa. Dan tetaplah biar rindu dan kenang yang bermain seperti perannya.

***

Seperti kisah sebelumnya dari sang nenek moyang, aku berjalan di tempat perpisahan. Bukan di stasiun kereta, bukan di terminal bus, tapi ada di bandara. Sayangnya hari ini aku tak akan berpisah dengan sesesorang, tapi aku akan berpisah dengan Kota Surabaya yang menyisakan senjaku dengan Angkasa. Menyisakan ceritaku dan Angkasa yang sengaja memang kutinggal disana. Menyisakan sedikit lara yang sengaja lagi tak kubawa ke Maratua. Biarlah semua tinggal disana. Barangkali Sean sudah cukup mampu untuk menyempurnakannya.

Sean masih di sebelahku. Terlihat raut wajahnya yang tak bisa ku tebak. Antara senang dan gelisah menjadi suatu kesatuan. Kali ini langit juga enggan memunculkan cahaya matahari. Mungkin sengaja disembunyikan agar yang ada di dalam semesta tak terpana melihat matahari dan hendak merebut pesonanya dari langit. Awan pun sama. Tak menunjukkan keindahan dan kebahagiaan. Ada apa? Apa semesta tak suka kalau aku beringkar janji atau malah semesta tak suka kalau aku bersama Sean? Aku tak tahu. Untuk kali ini biar perjalanan ini berjalan semestinya.

"Kenapa, Sean?" tanyaku pada Sean yang sedari tadi menggenggam tanganku erat.

Sean menatapku, "Kalau mungkin ini yang terakhir kita kayak gini, kamu jangan lupa aku. Kalau kamu benci aku silahkan karena itu hak mu buat benci aku."

"Aku enggak akan benci kamu sebelum kamu berbuat kesalahan," ucapku seraya mengelus rambut coklatnya lembut.

"Barangkali nanti aku buat kesalahan yang nggak kamu bayangkan sebelumnya, aku bener bener minta maaf. Sebenernya aku nggak mau. Tapi ini diluar kendaliku."

"Aku enggak apa apa."

Tak lama terdengar pengumuman kalau pesawat yang akan kita naiki sudah siap. Kami pun bergegas ke pesawat.

Surabaya, selamat tinggal ya. Senjaku dan Angka, selamat tinggal ya. Kedai kopi, toko buku, perpustakaan, dan yang lainnya selamat tinggal juga. Selamat tinggal, Angka. Jangan terkejut kalau kamu ke Surabaya tanpa aku. Maafkan aku kalau sudah mengingkari semua yang kamu mau. Sudah menjadi hak mu memarahiku kalau aku sudah tiba ke kota ini lagi dengan rasa sendu. Surabaya, titipkan salamku ke Angka kalau dia sudah berada di Surabaya dengan selamat. Hadirkan senja paling indah se-semesta agar dia bisa senang tanpa harus ada aku. Hadirkan rasa senang juga saat dia melihat semesta yang indah disana agar dia bisa bahagia lagi. Aku pamit.

***

'Lo kemana woy? Jangan tinggalin Surabay dong!!!!'

'Woy'

'Jawab dong:('

Ada pesan dari nomor yang tak Bintang kenal pemiliknya. Tapi sepertinya dia tahu siapa. Dia adalah Udin. Manusia yang sudah mau menceritakan apa yang belum Bintang tahu sebelumnya. Mau menceritakan latar belakang Angkasa yang susah di tebak. Bintang hanya membaca pesan whatsapp dari Udin. Bintang yakin pasti Angkasa yang menyuruh. Bintang tak peduli karena peristiwa ini sudah tak akan bisa di elak lagi. Tinggal selangkah saja untuk pergi menenangkan diri walau akhirnya juga dengar kabar pergi yang menyayat hati.

Angkasa RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang