masa kita

28 5 0
                                    

Bab 8: masa kita

Aku memilih pulang saja dulu. Menyikap masa tak mudah seperti dulu. Selalu ada ingatan kenang yang menyerbu. Tak senyaman dulu.

Sesampainya di rumah, Kejora memberikanku sebuah kotak kiriman. Sepertinya sebuah paket.

"Dari siapa?" tanyaku.

"Katanya dari sastrawan hebat, Kak," aku langsung ke kamar dan segera membuka kotak itu.

Menimbang-nimbang apa yang ada dalam isi kotak tersebut. Apa ada kejutan yang sangat memdebarkan? Apa ada ular di dalamnya? Ah entahlah. Perlahan kubuka kotak itu. Takut juga penasaran. Akhirnya tetap kubuka sampai benar-benar terbuka. Dan benar saja, ada sesuatu di dalamnya. Awalnya berhasil membuat terkejut dan mendebarkan setelahnya masih ada rasa kecewa.

Disana ada tulisan yang sangat besar. Disitu dituliskan "RINDU" lalu dibalik kertas itu ada kertas berwarna biru. Kubaca tulisan demi tulisan yang terukir disana.

'Hai. Aku sekarang jadi agak takut kalau mau menyapamu lewat sms. Karena aku tahu kamu kecewa dan enggak mau balas. Makannya, aku tulis disini, sedikit mengurangi tapi yasudahlah tak apa walau begini. Oh iya. Bintang, coba kamu lihat di kotak yang ku kirimkan ini. Di dalamnya selain ada rindu, di dalam kotak itu ada sebuah kopi dan sebuah benda yang menggambarkan aku. Kurekam semua suaraku lewat nyanyian rindu. Dan sengaja ku kirim padamu sebagai bukti bahwa aku enggak main main dan aku memang mencintaimu. Sekian dulu ya, aku pamit. Selamat menikmati:)'

Aku tahu ini dari siapa. Tak perlu diberi tahu aku pasti sudah tahu. Kubuka lagi dan memang benar. Ada sesuatu. Ada sebuah kaset yang masih baru dan masih mengkilap. Karena aku penasaran, kaset itu kuputar di radio tua milik peninggalan nenekku. Di kaset itu juga ada tulisan yang bertuliskan "AR" yakni Angkasa Raya

Senyumanmu
Yang indah bagaikan candu
Ingin trus kulihat walau dari jauh

Lagu ini berjudul "halu" dari Feby Putri.

Skarang aku pun sadari
Walau hanya mimpiku yang berkhayalah kan bisa bersamamu

Aku melanjutkan lirik lagu itu sendirian di temani satu radio tua yang memutar lagu orang yang "kucintai"

Ku berandai kau disini
Mengobati rindu ruai
Dalam sunyi ku sendiri meratapi
Perasaan yang tak jua di dengar

Suaranya mengisi ruang udara di kamarku. Kamarku tenang. Sangat bahkan. Suaranya mampu mengisi kerinduan dan ke hampaan hati ini. Suara merdunya yang bisa mengingatkan soal bagaimana caranya memerima apa adanya dan mengukir sebuah serenada.

***

Malam hari yang sunyi ini aku terbangun setelah banyak mendengar lagu dari kaset Angka. Aku di balkon rumah. Duduk seperti biasanya. Menatap langit malam hari yang tak seperti biasanya. Langitnya keruh tak sebiru dulu. Bintang pun tak nampak. Apa bintang takut akan kegelapan angkasa yang menyeramkan? Apa bintang takut akan kegelapan angkasa yang juga bisa menghanyutkan?

Aku diam. Pesan Angka sengaja aku senyapkan. Aku terlalu lelah menunggumu disini. Cuma dua minggu memang. Tapi ya inilah aku. Aku disini tinggal menunggu hari dimana ia akan mau berganti lagi dan bergilir. Aku disini menunggu penantianku sejak lama ke Maratua. Maafkan aku, Angka kalau kamu kesini tanpa harus melihat wujudku. Melainkan hanya melihat bayanganku yang dirundung rindu.

Kaset Angka masih ku genggam sedari tadi siang. Earphone terpasang sedang menjadi perantara ponsel utuk menyampaikan podcast. Ya, podcast. Masih ingat kan? Bukan podcast rintik sedu yang ku dengar. Melainkan podcast salah satu orang yang menyajikan sastra. Aku menikmati ia berkata kata demi kata. Aku menikmati kalimat yang ia lontarkan secara keras ke manusia pecandu rindu ini. Aku juga menikmati angin malam yang berhembus. Berulang kali pesan Angkasa masuk di ponselku, tapi aku hanya diam tak niat membalas. Dengan membalasmu sama dengan menambah rinduku. Kartu memori rinduku sudah tak cukup untuk diisi lagi. Perlu untuk di beli yang baru.

Angkasa RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang