01. Deret Realitas

6.6K 236 17
                                        

"Di antara deret kenyataan yang menghantam, kita temukan kekuatan yang tak pernah kita sadari bahwa kita bisa bertahan lebih dari yang kita kira."

.

.

.

Ada yang tak bisa diukur oleh angka, dan ada lelah yang tak mampu terucap lewat kata.

Itulah yang dirasakan oleh Khanza Azkadina Malika, gadis mungil dengan semangat menyala namun hari itu, bara di dadanya seolah mulai padam. Khanza merupakan siswi PKL dari SMK Kesehatan yang tengah menjalani praktik terakhir di salah satu rumah sakit swasta tahapan wajib agar bisa dinyatakan lulus.

Di pojok aula rumah sakit, ia terduduk. Embusan napas panjangnya menyusup ke sela-sela sunyi. Tiga kali ia menata harapan, tiga kali pula dikoyak revisi. Asuhan keperawatan miliknya kembali ditolak.

"Maunya tuh Dokter apa, sih? Enak banget nyuruh revisi. Ini askep enggak kelar-kelar," gumamnya lirih namun geram, memandangi lembaran kertas yang kini berserakan di lantai, seolah ikut merasakan patahnya semangat sang pemilik.

"Khanza, percuma ngomel. Askep enggak bakalan selesai sendiri, tahu," sindir Anggi dari sudut ruangan, sambil melipat tangan di dada.

Khanza menatapnya sebal. "Aku kesal banget, Gi! Andai dia bukan pembimbing lahan, udah kutulis namanya dalam daftar santet."

Anggi terkekeh. "Yah, lo itu yang terlalu perfeksionis. Udah, yuk, makan dulu. Biar otak bisa mikir jernih."

"Enggak, deh. Aku bawa bekal dari Bunda. Lagian, pasien poli umum masih ramai. Belum bisa santai."

"Ya udah. Mau nitip jajan enggak?"

"Mau... asal kamu yang traktir." Khanza menyeringai, setengah iseng setengah harap.

"Dasar anak sultan mental gopay," ledek Anggi sambil berdiri, siap melenggang.

Khanza terkekeh. "Yang kaya itu orang tuaku, bukan aku. Lagian, mereka meraih semuanya dengan perjuangan. Masak aku seenaknya menghambur-hamburkan?"

"Baik, Nona Bijak. Lain kali kamu yang traktir ya!"

"Deal!" seru Khanza.

Babak PKL baru saja dimulai. Setiap kelompok terdiri dari lima orang. Di minggu pertama ini, giliran Khanza dan timnya di bagian poli. Setiap tiga hari sekali, mereka wajib membuat laporan dan satu askep berdasarkan kasus berbeda, lalu dikonsultasikan di hari kedua.

Khanza bergegas kembali ke poli. Ia membuka pintu aula, lalu menoleh ke kanan. Tanpa sadar—

Brukkk!

Tubuhnya menghantam seseorang cukup keras. Seketika berkas-berkas askep terlepas dari tangannya, berserakan ke lantai. Dalam waktu yang bersamaan, terdengar suara keras lain

"Brak!"

Sebuah ponsel berwarna hitam dengan casing elegan jatuh menghantam lantai keramik. Layar ponsel itu langsung retak di sudut kanan atas. Dan Khanza hanya bisa terpaku menatapnya.

"ASTAGHFIRULLAH! HP GUE! Dua belas juta, tahu?!"

Suara berat dan tegas itu membuat Khanza menelan ludah. Saat ia mendongak, matanya bertemu dengan sosok pria muda berpakaian rapi dengan name tag dokter yang tergantung di dada kiri jas putihnya. Wajahnya terlihat murka. Dagu terangkat sedikit, tatapan tajam menghunus langsung ke arah Khanza.

FLAMBOYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang