03. Prahara Semesta

2.4K 127 1
                                        

"Kita bukan pusat semesta, tapi semesta selalu tahu kapan harus menggeser langit agar cahaya datang tepat saat kita siap menerimanya."

~~'~~

.

.

.

Keesokan harinya, Khanza masih mendapat jadwal piket pagi di poli lansia. Minggu depan, ia dan kelompoknya akan dipindahkan ke ruang rawat kelas 3. Tapi sebelum rotasi, seluruh siswa wajib menyelesaikan responsi terlebih dahulu dan itu berarti masih banyak tantangan menunggu.

Pasien mulai berdatangan. Khanza kembali sigap menjalankan tugas. Pasien ketujuh yang masuk adalah seorang perempuan paruh baya, sekitar usia 60-an. Ia mengenakan baju lusuh yang tampak kebesaran, warnanya pudar, dan ujung lengannya robek sedikit. Langkahnya pelan dan tertatih, sebelah kakinya menyeret seperti sedang menahan nyeri yang tak dikatakan.

Khanza sempat menghentikan aktivitasnya sejenak. Ada getaran kecil di hatinya. Entah kenapa, sosok Ibu itu terasa berbeda.

"Ibu, kenapa tangannya dilipat begitu?" tanya Rizka lembut, membantu pasien duduk.

"Maklum, Nak... Udah tua begini. Semua penyakit mampir ke badan saya," jawab si Ibu lirih. Suaranya berat, pelan, seperti orang yang terlalu sering menahan sakit bukan hanya di tubuh, tapi juga di hati.

"Ibu istirahat sebentar, ya. Saya ukur tensinya," sahut Khanza sambil mulai menggulung lengan baju si Ibu. Kulitnya keriput, tulangnya menonjol. Tangan yang seperti sudah bekerja keras seumur hidup.

"Ibu merasa apa aja hari ini?" tanyanya lagi sambil menatap mata sang Ibu.

"Pusing, mata sering nyeri, badan rasanya ngilu semua. Enggak bisa tidur nyenyak juga. Kalau malam, sendi-sendi saya seperti dipelintir," jelas sang Ibu sambil mengelus lututnya pelan.

Khanza menatap alat tensinya. "180, Bu. Sudah sering dengan tensi segini?"

"Iya... saya memang punya darah tinggi. Udah lama. Kadang juga sesak, tapi biasa saya diamkan saja. Enggak enak terus-terusan ngeluh..."

"Ibu ke sini sama siapa?" tanya Aldi, yang baru saja menghampiri.

"Sendiri. Tadi naik ojek."

"Anak Ibu?"

"Mereka sibuk kerja. Enggak sempat ngantar."

Hening sejenak. Aldi dan Rizka saling pandang. "Saya kasih rujukan ke lab, ya, Bu," ujar Rizka. "Setelah dari sana, kembali lagi ke sini bawa hasilnya."

"Saya antar Ibu, ya," ujar Khanza cepat. "Ayo, Bu. Pelan-pelan saja."

Ia membantu Ibu Sumiati berjalan, memegangi tangan kurus yang terasa dingin dan bergetar. Di tengah perjalanan menuju lab, Khanza mencoba berbincang ringan.

"Ibu udah lama sakit?"

"Udah lama, Nak. Tapi makin parah sejak tiga tahun lalu. Dulu badan saya kuat, saya yang ngurus suami, cucu, anak-anak. Tapi sejak Bapak mereka meninggal, saya mulai sering sakit."

Khanza mengangguk pelan. "Anak Ibu kerja apa, Bu?"

"Petani. Semua laki-laki. Tapi saya udah enggak tinggal sama mereka lagi."

"Kenapa, Bu?"

"Dulu... waktu saya masih sehat, mereka rebutan minta saya tinggal di rumah masing-masing. Tapi setelah saya mulai sakit, saya malah jadi seperti barang yang dioper-oper. Sebulan di rumah A, bulan depan pindah ke rumah B. Sampai akhirnya saya bilang, 'Sudah. Biar Ibu sendiri saja.'"

FLAMBOYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang