~ Setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada waktunya ~
❤️💉Keesokan harinya, Khanza tetap mendapat jadwal piket pagi karena masih tetap di poli. Setelah itu, di-rolling dengan kelompok lain. Minggu depan ia dan kelompoknya kebagian di ruang lain, yaitu ruang rawat kelas 3.
Sesuai dengan kesepakatan, maka siswa sebelum masuk ruangan akan melakukan responsi sebagai syarat untuk lanjut ke ruang selanjutnya. Kali ini Khanza masih di poli lansia.
Pasien mulai berdatangan dan Khanza pun mulai menjalankan tugas. Namun, saat pasien ketujuh masuk, hatinya sedikit teriris. Seorang perempuan tua berusia sekitar 60-an dengan baju compang-camping seperti tak terurus.
"Ibu kenapa? Tangannya, kok, dilipat begitu?" tanya Rizka—perawat Lansia.
"Maklum, udah tua, Nak. Segala macam penyakit di tubuh saya."
"Ya udah, saya tensi, ya, Bu." Khanza melipat lengan baju pasien yang lumayan tebal. "Apa yang Ibu rasakan sekarang?" tanyanya lagi.
"Sering pusing. Kadang mata suka sakit. Udah gitu, semua badan kayak kaku."
Rizka menulis semua pernyataan pasien.
"Tensinya 160. Ibu udah biasa dengan tensi segitu?" tanya Khanza.
"Iya. Saya memang darah tinggi."
"Ibu tadi ke sini sama siapa?" tanya Aldi yang sedari tadi hanya menyimak.
"Naik ojek sendiri."
"Anak sama suami Ibu di mana? Ibu nggak boleh jalan sendiri, lho, apalagi dengan kondisi kaki ibu yang, maaf, pincang begini."
"Anak saya sibuk kerja, suami udah nggak ada."
"Ibu, ini kertasnya buat dibawa ke lab. Nanti Ibu balik lagi ke sini bawa hasil labnya sekalian, ya," ucap Rizka.
"Saya bantu ke lab, ya, Bu." Khanza mengajukan diri lalu mulai membantu pasien atas nama Sumiati itu ke laboratorium.
"Ibu udah berapa lama sakit?"
"Udah lama banget."
"Anak Ibu kerja apa emangnya?"
"Petani, Nak."
"Owalah gitu. Oh, iya, Ibu duduk di sini dulu biar kertasnya saya aja yang antar." Khanza ikut menunggu Sumiati di lab. Ia khawatir Sumiati akan jatuh jika naik tanjakan pembatas antara poli dengan laboratorium.
"Pagi, Dok," sapa Khanza ramah ketika melihat Huda yang ikut duduk di sampingnya.
"Pagi juga. Ngapain di sini?"
"Ini nemanin pasien. Dokter sendiri?"
"Mau ambil hasil lab pasien juga. Kamu piket di poli lansia, ya?"
"Iya, Dok."
"Ibu Sumiati," panggil petugas laboratorium.
"Selain bucin, kamu perhatian juga, ya."
"Ha? Gimana maksudnya, Dok?"
"Saya rasa kamu tidak bodoh untuk memahami perkataan saya barusan."
"Mulai, deh," gumam Khanza.
"Dokter masih lama duduk di sini? Awas, lho, nanti pasiennya nyariin."
"Kamu ngusir saya?"
"Astaghfirullah. Saya rasa Dokter enggak terlalu lemah untuk memahami perkataan saya," balas Khanza mengikuti nada Huda.
"Dosa apa Rizky punya sepupu kayak kamu."
"Dosa besar karena punya teman seperti Dokter."
"Kam—"
KAMU SEDANG MEMBACA
FLAMBOYAN
Teen FictionTakdir yang sudah di mulai mustahil untuk menghambatnya, bahkan dengan kekuatan manusia sekalipun itu tak akan bisa. Ia berhembus seperti angin tak bisa dihentikan dan tak pasti arahnya akan kemana. Begitu pula dengan kedua tokoh utama di cerita ini...