Aku tertawa sumbang. Antara ingin membunuhnya atau justru menyabarkannya tentang segala cobaan hidupnya. Oh ayolah, ini sebuah kejuaraan lari dan dia masih sempar-sempatnya meminta nomor teleponku? Dimana letak pikirannya--maksudku, apa dia tak berfikir jika aku pasti tak membawa ponsel di saat seperti ini?
"Aku bahkan bertaruh jika kau tak membawa pulpen atau kertas atau semacamnya untuk menulis nomorku," gelakku ironi. "Sudahlah, aku ingin lanjut berlari." Aku menarik tanganku dari genggaman Liam dan berlari menjauhinya.
Namun, sepertinya aku mendengar sebuah langkah terburu-buru yang mendekatiku. "Ya, kau benar. Aku tak punya apa-apa untuk mencatat nomormu. Namun, bolehkan aku untuk lari bersamamu, please? Kita bisa mengobrol mengenai film atau band kesukaanmu."
"Aku tak menaruh rasa suka terhadap apa yang kau katakan barusan."
"Benarkah?"
"Ya."
Liam mengerutkan keningnya. "Benarkah? Benarkah seorang gadis cantik sepertimu terlihat bergitu 'purba'? Jangan bercanda."
Aku menoleh sesaat pada Liam. "Aku tak suka bertele-tele." Tegasku.
Liam mengangguk--akhirnya mengerti. Untuk beberapa saat kemudian, aku merasa bersyukur jika Liam tak mengeluarkan suaranya sedikitpun. Dia berlari dengan tenang dan tak menimbulkan sebuah obrolan yang menyebalkan diantara kami.
"Deborah, kau tahu, aku tahu kau semenjak 2 tahun yang lalu. Aku begitu kagum padamu."
Aku tersenyum kecil, lagi-lagi merasa kadar narsisme ku mendadak naik. Menoleh, aku dapat melihat Liam yang tengah menyeka keringatnya.
Oh.
Ada apa denganku?
wtf haloooooooooo
KAMU SEDANG MEMBACA
Payne Game
Fanfiction❝ Dia, Liam Payne, hanya laki-laki tolol dengan seribu gombalan sampah ❞ Copyright © 2014 by ratukuaci All Rights Reserved