Palang bertuliskan 10 kilometer sudah terlewati dan berarti aku sudah mendekati garis finish. Garis kemenangan. Menoleh, aku dapat melihat Liam berlari sambil sesekali menoleh padaku.
“Ada apa?” Tanya Liam.
“Kita sudah berada dekat dengan garis finish.”
“Lalu?”
Aku melengah. Bagaimana caranya aku mengatakan padanya jika dia harus menjauh dan membiarkanku menang? Bukannya bagaimana, tetapi aku sudah merasa sedikit berbeda dengannya. Dan kurasa itu pasti akan sangat tidak sopan mengingat segala hal yang dilakukannya padaku.
Menenangkanku. Menyemangatiku. Menemaniku.
Bodoh, aku tahu ini baru 2 jam pertemuan kami, tetapi betapa meledaknya aku sekarang. Apakah ini karena faktor diriku yang haus akan perhatian seorang lelaki? Ah, Tuhan, aku bingung.
“Aku—aku harus menang.” Jawabku gelagapan.
Liam terkekeh. “Semua orang ingin menang, Deborah.”
Benar. Semua orang memang ingin menang. Tetapi, tetaplah aku yang harus menang. Aku menoleh ke belakang, baru sadar jika aku dan Liam lah yang terdepan dengan gadis berkulit dan berambut coklat yang kulihat di booth tadi di belakang kami.
“Liam…” panggilku.
“Apa?”
“Berhubung kita berdualah yang berada di barisan terdepan, ma-maukah kau membiarkanku menang? Kau tahu, aku begitu terobsesi dengan kemenangan dan aku harus menang, Liam.” Ucapku sedikit gugup. Aku mengintip Liam dari balik bulu mataku, wajahnya terlihat bingung dan dia terdiam beberapa saat.
“Kau ingin aku mengalah?” tanyanya.
“Ya, ma—“
“Ya, tentu.”
Aku tersentak ketika Liam memberhentikan lariku dan memelukku erat. Mendadak tubuhku memanas dan pipiku memerah. Merasakan bahu telanjangnya di pipiku merupakan hal baru yang begitu kunikmati dan kurasa aku akan mulai membukakan hatiku padanya.
Tetapi sepertinya Liam terlalu lama memelukku, sehingga aku dapat merasakan langkah lari seseorang melewatiku. “Liam, lepaskan, kau tahu seseorang baru saja melewati kita. Aku bisa kalah!” aku menarik tubuhku menjauh dari Liam. Namun, kekuatan Liam menahanku. “Liam, lepaskan!”
“Tidak akan Deborah.”
“Tetapi gadis tadi mendahului kita!”
“Biarlah. Karena itulah yang kuinginkan.”
Mataku melebar mendengar perkataan Liam. Mendadak tungkaiku terasa lemah, membuat tubuhku bergetar. “A-apa maksudmu?” tanyaku berusaha menahan tangisanku.
“Biarkah gadis itu menang. Biarkan gadis yang selalu berhasil kau kalahkan di berbagai pertandingan lari itu sekali ini menang,” ucap Liam. “Di Paris dan Belanda kau berhasil mengalahkannya, biarkan kali ini di London dia mengalahkanmu. Biarkan pacarku Sophia Smith menang.”
Aku makin merasa tungkaiku melemas. Mataku melebar tak berkedip dan perlahan Liam mulai menarik tubuhku menjauh darinya. Tidak, dia bukan cuma menarik tubuhku, namun dia mendorongku sehingga menyebabkanku terjatuh dengan kerasnya ke jalanan aspal.
“Aku tahu hukum diskualifikasi menyakiti peserta lain dalam pertandingan ini, namun bukan menanglah tujuanku saat ini. Aku hanya ingin mewujudkan mimpi pacarku untuk mengalahkan orang sombong sepertimu. Jk, dasar jalang murahan.” Liam mendecih dan dapat dirasakan aku mulai menangis.
“Kau licik Liam!” teriakku.
“Yeah, that’s me. I do everything to my lovely girlfriend. Bye, loser.”
Dan dengan begitu Liam berlari meninggalkanku di tengah jalanan yang masih sepi karena peserta lain belum mencapai jarak ini. Brengsek! Selamanya laki-laki memang tak pernah bisa dipercayai.
“Deborah Hyland?”
Aku merasakan beberapa orang mengerubungiku di tengah pengelihatanku yang mengabur.
“Angkat dia!”
Dan semua berubah menjadi hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Payne Game
Fanfiction❝ Dia, Liam Payne, hanya laki-laki tolol dengan seribu gombalan sampah ❞ Copyright © 2014 by ratukuaci All Rights Reserved