"Bersedia...siap...mulai!"
Aku berlari pelan dengan melebarkan jarak langkahku sedikit disertai mata yang menatap lurus ke depan. 49 orang lainnya juga tampak berlari cukup pelan sepertiku.
Aku menoleh ke kiri dan mendapati seorang pria berkumis yang ku ingat bernama Jonash Yuth—pelari berumur 40 tahun yang baru menempati juara 3 lari jarak jauh di Swedia. Begitupun ketika aku menoleh ke kanan, aku mendapati Spence Tarta—gadis pemenang lari jarak pendek satu minggu yang lalu.
Aku mengambil nafas dalam, ini memang sulit, semua pesaing memang sulit. Namun tetap saja, aku lah yang terbaik.
"Hai, Nona D."
Aku menoleh dan mendapati Liam tengah berlari berusaha menyamai kecepatanku. Aku memutar bola mataku dan berusaha mengabaikannya. Namun entah apa dosaku, dia tetap saja bertahan dengan berlari seiringan denganku dan terus menatapku seraya tersenyum lebar.
"Apa maumu?" tanyaku akhirnya menyerah.
Dia mengendikkan bahunya tersenyum miring. "Aku hanya ingin berteman lebih baik denganmu. Atau jika Tuhan mengizinkan, kita bisa lebih dari sekedar teman."
Aku menarik lebar otot mataku ke atas, menghasilkan pelototan mata yang merekah. Memandanginya seolah jijik, aku terkekeh paksa. "Kau jangan bercanda."
"Bagaimana bisa kau mengatakan hal itu adalah sebuah candaan jika pada dasarnya memang Tuhan sendiri yang mentakdirkannya?" Liam memainkan alis matanya lalu tertawa keras.
"Aku tak suka obrolan ini."
Aku mengambil langkah besar meninggalkan Liam. Masa bodoh jika dia menganggapku tak sopan, tapi setidaknya ini terlihat cukup sopan dibandingkan jika aku harus menendang kemaluannya karena saking kesalnya.
"Hei tunggu aku!"
Astaga, apa sih mau lelaki ini? Apa dia tak sadar jika barusan aku baru saja berniat akan menendang kemaluannya? Tuhan, jika memang benar menendang kemaluannya adalah hal yang baik, maka aku tak akan menunda-nunda untuk melakukannya sekarang.
"Aku sibuk. Jangan ganggu aku."
Liam mendengus diselingi tawa kecil. "Kau hanya sedang berlari dan kau katakan itu sibuk?"
"Tentu aku sibuk. Ini sebuah kejuaraan lari, child." aku balas tertawa remeh.
"Tapi kita bisa lari bersama dan menang bersama."
Kilat, aku merasakan jika kepalaku memutar secara refleks untuk menatap Liam dengan pandangan tidak percaya. Mulutku memisah dan keningku mengerut. Sialan, dia kira kalimatnya lucu?
"Kita tak akan lari bersama," aku segera mempercepat lariku. "Atau bahkan menang bersama."
"Kenapa?"
Jelas, karena hanya aku yang berhak menang disini.
Ini membosankan nggak? Kok gue ngerasa peminatnya sedikit gitu ya? Atau itu hanya perasaan gue?
Sudahlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Payne Game
Fanfic❝ Dia, Liam Payne, hanya laki-laki tolol dengan seribu gombalan sampah ❞ Copyright © 2014 by ratukuaci All Rights Reserved