9 - Worry

2.4K 381 35
                                    

Orang yg kenal aku di dunia asli, pasti heran pas baca ceritaku disini. Apalagi cerita macem romance begini. He-he-he-bodo-amat.

Semoga bintangmu, bisa menerangiku.

===

Demi pluto yang sulit untuk dipijaki, Airin ingin menendang Quasar kesana saat ini juga.

Di tangan Airin sudah ada satu kantong berisi dua bungkus bubur ayam pesanan sang bos besar yang maha menyebalkan.

Gadis yang memakai celana jeans serta kaos hitam itu terhitung sudah lima menit berdiri di depan pintu apartemen Quasar. Selama itu sudah lima kali Airin menekan bel, namun tetap tidak ada pergerakan dari pintu itu.

"Kenapa gue bego banget," maki Airin pada diri sendiri. Gadis itu kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya.

Melakukan hal yang baru saja terlintas dibenaknya. Menghubungi bos besar, memberitahu bahwa ia sudah ada di depan pintu, membuat pintu terbuka seketika, memberikan bubur itu pada bos besar, menagih uang ganti beserta ongkirnya, lalu pergi.

Setidaknya, itulah gambaran yang Airin harapkan.

Airin sudah sangat cocok untuk menjadi seorang kurir.

Kata bergetar yang ditampilkan ponsel Airin, menandakan bahwa nomor Quasar sedang aktif. Namun belum terhubung karena Quasar belum menerima panggilan dari Airin.

Sialan. Gak diangkat. Kalo dia ngerjain gue, bakal gue tendang beneran sampe ke pluto.

Setelah memaki dalam hati, Airin mengelus dada, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Sabar, Airin, sabar. Orang sabar banyak duit."

Airin kembali menghubungi Quasar. Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya panggilan terhubung. Airin segera menempelkan ponsel itu ke telinganya.

"Hallo?"

Sejak kapan Quasar memiliki suara lemah lembut khas seorang perempuan? Airin menjauhkan kembali ponselnya, untuk melihat siapa yang ia hubungi. Takutnya, ia salah sambung. Tapi ternyata tidak, Airin memang menghubungi Quasar, namun kenapa yang ia dengar malah suara perempuan?

"Hallo? Hallo?"

Airin kembali menempelkan ponsel itu ke telinganya. "Hallo. Bisa bicara dengan pemilik nomor ini?" ucap Airin, berusaha seformal mungkin.

"Mau apa ya, mbak?"

Airin menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan perempuan itu. "Saya mau nganter bubur ayam pesanan pemilik telpon ini."

"Oh. Go food ya?"

Sialan, batin Airin.

Ternyata ia memang benar-benar pantas menjadi driver makanan online.

"Boleh dikasih tau pemilik ponsel ini, saya sudah ada di depan apartemen. Silahkan diambil."

"Atas nama Quasar, kan? Dia lagi mandi. Bentar, saya mau pake baju dulu. Saya aja yang ambil pesanan dia. Tunggu sebentar, ya, mbak."

"Silahkan."

Panggilan terputus. Lalu Airin melirik kantong di genggamannya. Pantas saja, buburnya ada dua, ternyata satu lagi buat perempuan itu.

Tapi, siapa perempuan itu? Airin tidak salah dengar kan, katanya, perempuan itu mau pake baju dulu. Itu artinya, perempuan itu sedang tidak memakai baju, bukan? Lalu, apa yang sedang dilakukan perempuan yang tidak memakai pakaian itu di apartemen pria?

Ah, Airin menggeleng pelan. Bodo amat. Apapun itu bukan urusan Airin.

Pintu terbuka. Seorang wanita berambut panjang menampakan diri. Tinggi. Cantik. Putih. Cocok untuk mendampingi Quasar.

Aurora BorealisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang