PART 5
"Kamu merasa, kamu adalah satu-satunya yang paling mengerti dia. Tapi apa kamu tahu? Banyak di luar sana, yang jatuh, hanyut, lalu tenggelam hanya karena lupa caranya untuk mengerti diri sendiri."
• ------------ •"Kalau nggak karena lo yang duluan ngulah, nggak sudi gue bertatap muka sama lo," ucap seorang cowok, sinis. Cowok yang sama yang dijanjikan Rangga untuk bertemu di lapangan belakang setelah pulang sekolah, Mara.
Rangga berdiri sekitar lima meter di hadapannya. Bel pulang sekolah sudah berbunyi lima menit yang lalu. Dan sekarang, seperti yang dikatakan Rangga, mereka berdua bertemu di lapangan sekolah yang paling jarang dikunjungi siswa-siswi untuk membuktikan siapa yang paling kuat di antara mereka.
Jika cowok yang menjadi lawannya itu berpenampilan masih rapi dengan seragam dimasukkan ke dalam celana, beda halnya dengan Rangga. Di posisinya, Rangga terlihat santai tetapi seragam yang ia kenakan seutuhnya ia keluarkan.
"Bacot," balas Rangga, "Lo kalau takut berhadapan sama gue, bilang aja terus terang. Jangan menyeh-menyeh kayak kurang makan."
"Pembacot bilang bacot. Lo kali yang takut sama gue, sampe berdiri aja situ-situ mulu. Nggak berani ngedekat ke arah gue?" Mara tersenyum, menantang Rangga. Berusaha membuat Rangga dapat terpancing oleh ucapannya.
Mara pikir, Rangga tidak akan mendekatinya. Namun, setelah Rangga memberikan senyuman miring, ia maju dengan langkah santai. Senyumnya tak lepas, sampai menyisakan jarak satu langkah di antara mereka.
Berdekatan seperti itu, nampak tinggi badan mereka hampir setara. Hanya saja, mungkin Rangga lebih tinggi dua sentimeter daripada Mara yang ada di hadapannya. Mereka saling pandang-pandangan, memberikan tatapan menilai nan mematikan. Angin sepoi-sepoi menghembus seragam dan rambut mereka. Rangga tetap pada ekspresi wajahnya yang tersenyum miring. Hingga akhirnya ...
"Lo ganteng juga ternyata," ucap Rangga.
Mara mengernyit jijik. "Mencoba mengecoh gue?"
Rangga tertawa pelan. "Jelas. Tapi gue serius, lo memang ganteng. Itu fakta. Tapi sayang, tukang nanam cabe di gigi."
Mara semakin mengernyit. Sempat bertanya di dalam hati; apakah maksud Rangga adalah bahwa di giginya ada kulit cabai? Menggeleng, ia menatap tajam wajah Rangga. "Iya, lo cabenya. Yang bakal gue giling dengan tangan gue sendiri," katanya mendesis.
Rangga mulai serius, wajahnya terlihat mengeras. Alisnya tertekuk. Tak ada lagi raut senyum di wajahnya. Kedua tangannya yang tadi di dalam saku celana, kini ia keluarkan, membentuk kepalan kuat. "Silakan," katanya pada Mara.
Dan tanpa perlu mengulur waktu lagi, Mara memulainya duluan. Ia melambungkan tinjuan dengan dorongan yang sangat kuat ke arah wajah Rangga. Namun sayang, Rangga berhasil mengelak dengan mudah.
"Silakan gue bilang," ucap Rangga, memanasi.
Tak mempedulikan ucapan Rangga, Mara kembali mengayunkan tinjuan dengan tangan yang satunya. Namun sekali lagi sayang, Rangga lagi-lagi berhasil mengelak.
"Lo nggak dengar apa yang gue bilang? Silakan." Rangga berujar lagi.
Sementara Rangga terlihat santai, Mara merasa geram karena Rangga berhasil menghindari tinjuannya. Dia tak mengira, Rangga akan secepat itu mengelak dari lambungan tinjuannya yang terhitung cukup cepat. Tapi dia tak menyerah, karena kemampuan yang ia punya tidak sampai di situ saja.
Bersiap-siap mengambil kuda-kuda, Mara meregangkan telapak tangannya lalu mengepalnya kuat-kuat. Bergerak mendekati Rangga, cepat-cepat ia melesatkan kepalan tangannya itu ke arah Rangga. Dan ...
BUGH!
Tangannya berhasil ditangkap oleh Rangga. Menggenggam kuat pergelangannya, lalu Rangga memelintirnya, kemudian menendang pinggang Mara dengan kakinya. Seketika Mara terbaring di tanah. Seragam putihnya jadi kotor.
Bukannya kesakitan, Mara melompat untuk membangkitkan tubuhnya. Hanya butuh waktu sebentar, dirinya kembali berdiri gagah. Memutar-mutar pergelangan tangannya, dia mendekati Rangga lagi. Kini, ia tidak akan memainkan cara lamanya lagi.
Begitupun Rangga, melihat lawannya masih bisa berdiri setelah mendapati tendangan yang cukup keras darinya, Rangga yakin, cowok itu bukan cowok biasa. Jadi Rangga memutuskan, akan mengeluarkan kemampuan yang ia miliki.
"Your turn," ucap Mara.
Tak gentar, Rangga pun melangkah mendekatinya. Sekarang adalah gilirannya yang memulai.
Dan ...
***
"Rangga ke mana, sih?!" Seorang cewek dengan rambut terurai mengomel-ngomel di depan kelas. Seli. Ia menghentak-hentakkan kedua kakinya ke lantai. Kesal. Ini sudah kelas ke sekian yang ia periksa untuk mencari keberadaan pacarnya, Rangga.
Ia teramat sebal ketika mengecek handphone-nya, karena tak ada chat balasan dari Rangga. Telponan pun tak diangkat. Ia yakin Rangga belum pulang karena sudah melihat motor cowok itu masih ada di parkiran. Jadi kemungkinan besar Rangga masih berkeliaran di sekitar sekolah. Tak putus asa, Seli kembali mencari keberadaan cowok itu.
Kakinya membawanya ke kantin. Di sana, ia melihat masih ada beberapa gerombolan siswa-siswi sedang menongkrong sekadar mengobrol dan bermain gitar. Salah satu siswa dari gerombolan itu mengusik pandangan Seli, yakni sahabatnya Rangga, Fajar.
Tentu saja! Fajar pasti tahu di mana Rangga!
"Jar! Fajar!" Seli berteriak, ia memutuskan untuk mendatangi Fajar di bangkunya. "Gue mau ngomong sebentar."
Fajar menoleh malas. "Ngomong apaan?"
"Ayo ikut gue sebentar."
"Ya elah .. ngomong di sini aja kali. Cuma bentar doang 'kan."
Seli berdecak. "Lo lihat Rangga, nggak?"
"Nggak," jawab Fajar cepat.
"Bohong lo. Nggak mungkin lo nggak lihat. Rangga kan selalu sama lo."
"Selalu sama gue bukan berarti terus-terusan dekat. Gue nggak tau."
Seli berdecak lagi. "Pinjam hp lo sini!"
Fajar melotot. "Buat apaan, oneng?!"
"Ngechat Rangga lah! Dia pasti ngebalas chat dari lo!"
"Nggak nggak! Lo kira ngechat nggak pake kuota apa?!"
"Satu kalimat doang, Jar! Nggak akan bikin kuota lo tumpur!"
"Nggak gratis!"
Seli menghirup udara sedalamnya, lalu ia hembuskan dengan kasar. "Fine! Kalau gitu lo temenin gue cari Rangga!"
"Ogah! Lo cari aja sana sendiri," Fajar membuang muka.
"Oke! Entar kalau gue udah ketemu Rangga, gue bilangin sama dia supaya ambil mobil miliknya dari lo!"
Fajar kembali menoleh, ekspresinya berubah tajam melihat Seli. "Fine! Lo menang!" Fajar bangkit dari bangkunya. Melangkah meninggalkan kantin dan orang-orang yang debar-debar karena baru saja menyaksikan keributan antara dua orang. Seli menyusul di belakangnya. "Dasar nenek lemper!" maki Fajar pelan.
*TBC*
I 💖 U ...
U 💖 Me too?
KAMU SEDANG MEMBACA
OENOMEL
Teen Fiction"Lo tau persamaan lo dengan kondom?" Cewek yang ada di hadapan cowok itu melotot tajam. "Lo sama kondom sama-sama gue butuhkan saat gue lagi pengen." "Menjijikkan." "Lo tau nggak perbedaan lo dengan kondom?" "Asal kamu tahu, kamu adalah manusia pali...