PART 8
"Cemas, adalah caraku untuk mengekspresikan betapa aku memiliki rasa yang selalu ada dan bahkan akan berkembang dengan berjalannya waktu."
• ---------- •"Aku udah kelihatan cantik belum, Mbak?" Vira menata pakaian yang dikenakannya di hadapan sebuah cermin yang menempel di permukaan pintu lemari.
Baru saja siap memoles wajahnya dengan alat-alat rias, Laras datang mendekati Vira, melihat penampilannya, lalu memberikan dua jari jempolnya. "Cantik banget, dong," ujarnya.
Vira tersenyum mantap, tapi kemudian terlihat malu-malu. "Ini juga karena pakaian punya Mbak yang memang cantik."
"Mbak iri deh sama kamu, Vira."
"Eh?" Vira tertegun.
"Padahal pakaian yang Mbak beli ini harganya murah, lho. Tapi kalau kamu yang pakai, entah kenapa kelihatan bagus dan terlihat mahal di tubuh kamu. Huft ... takdir Mbak kali ya yang punya penampilan pas-pasan begini."
Vira menggaruk pelipis matanya, merasa tidak enak. Serba salah. Diam. Tidak menyangka Laras mengungkapkan hal itu.
"Hayuk cepetan, Vira. Udah selesai berdandannya, kan? Udah setengah delapan lewat nih."
Vira kelabakan, kemudian kembali melihat pantulan penampilannya di cermin. Clear. Pakaian dengan sedikit make-up natural telah terpampang di tubuhnya. Benar-benar cantik dan menggemaskan. Siapapun cowok bermata nakal, pasti akan tergoda oleh parasnya yang tidak dibuat-buat, alias alami.
"Kita naik apa ke sana, Mbak?" tanya Vira, ketika Laras baru saja mengunci pintu rumah.
Laras memperhatikan jam tangannya sebentar. "Naik bus aja kali, ya. Selain menghemat ongkos, juga nggak terlalu lama nunggunya. Mau, kan?"
Vira mengangguk dan tersenyum.
"Lekas ke halte aja, yuk." Lantas Laras mengajak Vira untuk berjalan menuju halte terdekat guna menunggu bus yang akan mereka tumpangi.
Lebih kurang lima menit saja mereka sudah bertemu dengan halte yang tampak menua. Dua-tiga orang dewasa juga tengah menunggu bus seperti mereka. Kondisi malam hari berhasil membuat Vira dan Laras kedinginan walau sudah mengenakan pakaian yang cukup tebal.
"Baru juga jam segini, tapi udaranya kelewatan dingin. Ini mah ngalah-ngalahin suhu AC di tempat Mbak kerja. Tahu begini Mbak bawa jaket dari rumah."
Vira tersenyum kecil melihat Laras yang mengomel sendiri, entah pada siapa. Pada Laras, Vira sudah menganggapnya seperti Kakak sendiri, walau usia mereka yang berselisih dua tahun saja. Mereka dipersatukan oleh sebuah kesamaan nasib, yakni tidak adanya status 'pelajar' di diri mereka walau usia mereka adalah masa-masanya menimba ilmu di instansi pendidikan.
"Kenapa, Vira? Kok ngelihatin Mbak terus?" tanya Laras, penasaran.
Vira menggeleng pelan. "Nggak kok, Mbak .. bukan apa-apa. Aku hanya kepikiran sama tempat yang akan kita datangi."
"Kenapa? Apa kamu cemas kita kesasar? Tenang, Vira ... Mbak udah catet alamatnya, detail, termasuk di sebelah mana dari ini, di sebelah mana dari itu. Kamu nggak perlu khawatir, udah jadi kerjaan Mbak nyari-nyari lokasi yang sama sekali belum pernah Mbak datangi."
Vira menatap lurus ke depan. Memperhatikan beberapa orang yang sedang berjalan di trotoar sambil bercengkrama. Vira baru menyadari, ternyata tidak semua orang mudah terinfeksi oleh dinginnya udara malam. Bahkan sebagian besar dari orang-orang tersebut, berani memakai pakaian 'bupati'(buka paha tinggi-tinggi).
KAMU SEDANG MEMBACA
OENOMEL
Teen Fiction"Lo tau persamaan lo dengan kondom?" Cewek yang ada di hadapan cowok itu melotot tajam. "Lo sama kondom sama-sama gue butuhkan saat gue lagi pengen." "Menjijikkan." "Lo tau nggak perbedaan lo dengan kondom?" "Asal kamu tahu, kamu adalah manusia pali...