Dia adalah Rangga

1.2K 40 2
                                    


"Sutranya dong, Mbak."

Seperti biasa, selesai memilih barang-barang yang akan dibeli, Rangga akan mengikut sertakan benda tak wajar untuk anak SMA di dalam daftar perbelanjaannya saat melakukan transaksi dengan seorang kasir, yakni: kondom.

Seperti biasanya pula, mendapati seorang pembeli yang menginginkan kondom, layaknya sebuah sistem yang bekerja secara otomatis, sang kasir yang berjenis kelamin perempuan itu memperlihatkan kulit wajahnya yang tersipu malu. Merah seperti tomat. Gerakannya mulai jadi salah tingkah.

Tentu saja dia malu. Terbayang-bayang di pikirannya; buat apa seseorang memesan kondom selain menggunakannya sebagai alat bantu dalam melakukan aktivitas ikeh-ikeh kimochi?

"Mau berapa banyak, Mas?" Dengan suara yang hampir bergetar, Mbak kasir itu bertanya pada Rangga sambil berusaha mengontrol detak jantungnya yang berdebar tak karuan.

Sebelum Rangga menjawab pertanyaan itu, terlebih dahulu ia menoleh ke samping dan berbicara pada seorang cowok yang usianya seumuran. "Lo mau berapa banyak, Jar?"

Fajar—seorang sahabat yang katanya akan selalu ada untuk Rangga sehidup semati—tampak berpikir. Walau dia tahu, dirinya tengah menahan rasa malu yang cukup besar akibat pertanyaan Rangga yang dilontarkan padanya. Seolah-olah memberitahukan pada orang di sekitar mereka bahwa Fajar lah yang ternyata ingin membeli kondom.

"Emang kita butuh berapa banyak?" tanya Fajar balik tak ingin melihat wajah orang-orang di sekitar mereka. Pura-pura bermain handphone.

Pertanyaan Fajar membuat beberapa pasang telinga yang mendengarkannya merasa cukup panas.

"Satu pack cukup?" tawar Rangga.

Tak ingin memperlama durasi, Fajar mengangguk cepat. Sekilas dia bisa melirik wajah-wajah di sekitarnya tersenyum masam pada mereka berdua. Terlebih pada Mbak kasir tersebut, setelah speechless, dia dengan cepat mengambilkan satu pack kondom berkotak merah lalu mengulurkannya ke meja kasir.

Dengan alis tertekuk, Rangga meraih pack kondom tersebut lalu mengeceknya. Tak berapa lama kemudian, dia komplain. "Selain Sutra ada nggak, Mbak?"

Mbak kasir yang hampir saja berhasil meredakan sport jantungnya di siang hari kembali lagi harus merasakan deg-degan yang luar biasa. Wajahnya kembali memerah. "Ada, Mas. Durex sama Fiesta. Masnya mau yang mana?"

Rangga tampak menimbang pilihan tersebut. Merasa bingung, dia kembali lagi bertanya pada Fajar dengan suara berbisik yang terdengar cukup jelas. "Jar, menurut lo bagusan yang mana?"

Kalau saja Fajar tidak mengingat posisi mereka yang sedang berada di keramaian, mungkin dia akan mencekik leher Rangga sangkin dongkolnya mendengarkan pertanyaan Rangga yang memanaskan hatinya. Fajar tak habis pikir dengan cara pikir Rangga yang tidak ada rasa malunya sedikitpun.

"Semuanya bagus. Tapi please, jangan bikin gue malu, Rang. Ji pi el," kata Fajar, sekaligus kesal karena tak ada chat yang datang untuknya.

"Apanya?"

"Anjir, pake nanya lagi. Tinggal pilih aja apa susahnya, sih."

"Gue lagi bingung, setan. Antara Sutra, Durex, sama Fiesta mana yang lebih bagus? Kan katanya lo sering pake."

"Anj-, kata siapa?! Su'udzhon lo kebangetan, Rang. Bisa nggak tuh mulut lo gue denger ngomong yang baik-baik?"

"Gue nggak butuh omelan lo yang bau pete, Jar. Yang gue mau sekarang adalah masukan, bukan omelan."

"Durex. Done." Fajar mengedikkan salah satu alis matanya. Geram, ia pun memasukkan handphone ke dalam saku celananya.

"Durex?"

OENOMELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang