r

52.6K 8.6K 2.6K
                                    

"Oh jadi gitu ceritanya? Tante dapet nomor saya dari Tante Cinta? Jangan khawatir, Tante udah ke tempat yang benar." Timo membuat seringai lebar untuk wanita paruh baya yang baru saja menemuinya di Praba.

Jika dilihat dari perawakannya, sepertinya usianya sudah menginjak angka empat puluhan. Kulit wajahnya masih kencang—terima kasih, suntik botox—meski tubuhnya sudah tidak terlalu menggiurkan dengan lemak di mana-mana. Tapi siapa peduli? Lihat jam tangan Aigner dan tentengan Dior-nya, tante satu ini ladang uang.

Timo melirik sekilas cincin nikah yang melingkar di jari manisnya. Tebakannya adalah, si tante sudah menikah dan masih menikah, tapi sang suami selalu sibuk bekerja atau mungkin punya perempuan simpanan lain, dan si tante memutuskan untuk mencari sensasi hidup baru setelah bosan menjadi wanita kesepian yang sehari-hari hanya mengantar anaknya kuliah. Yup. Semua sudah terbaca oleh Timo.

"Siapa itu?"

Timo bangun dari lamunannya, kemudian menoleh ke belakang melihat Jero yang baru saja keluar dari kamar. "Temen saya."

"Dia juga bisa?"

Timo menggeleng. Tentu saja ia mengerti maksud pertanyaan sang tante.

"Duh, sayang banget ya? Padahal seksi. Saya suka yang cokelat-cokelat gitu. Hot kayak bule Latin. Aduuuuh, badannya seksi banget. Dadanya guedeeee, pasti enak buat gelonjotan. Ya ampun perutnya, saya rela rebahan di sana dari pagi sampe pagi lagi, sampe lemes! Ayo donk, Tim! Rayu dia biar maen sama kita!"

Timo menggeleng kesal. "Nggak enak maen sama perjaka!"

Jero mengenakan kaosnya sambil berjalan melewati mereka di pintu Praba, sedikit pun tidak melirik Timo atau sekadar menyapa.

"Mau ke mana? Bukannya lo harus jemput tamu di airport?"

Jero memakai ransel di punggungnya. "Pak Komang yang jemput."

"Lo mau ke mana?!"

"Bukan urusan lo."

Timo mengamati Jero sampai ke depan pagar hingga naik ke motor. Lalu menggeleng bingung. Tidak mungkin si gembel itu pergi kencan dengan perempuan. Keiko sedang menemui temannya di Legian sejak kemarin malam. Lagi pula kalau memang Jero ada kencan, bukankah seharusnya dia berdandan sedikit—merapikan rambut atau memakai baju yang lebih bagus, misalnya? Nah ini? Penampilannya tetap seperti sehari-hari: Kuli Bangunan Anti Kemapanan Style.

Timo mencibir. "Paling mau ke pasar."

***

"Pagi sekali bangunnya," Padma tersenyum lebar pada Daisy yang sudah menyiram tanaman di kebun belakang.

Daisy meletakkan pot airnya dengan raut malu. Tak lupa ia melemparkan senyuman ramah pada Praba yang baru saja datang sambil menggotong peralatan lukis. Remaja itu melihatnya sekilas, lalu segera menundukkan kepala sambil bergumam.

"Mau jalan-jalan? Baru jam enam pagi loh ini. Sama Jero?"

Daisy mengangguk sambil membantu Praba mengambil palet lukisnya.

"Jalan-jalan ke mana?" Padma mengamati penampilan Daisy. "Mau ke kafe?"

"Terlalu ... formal?" Daisy mencermati dress putih polos selututnya.

"Yaaaaaa ... bagi saya sih cantik. Cocok, apalagi buat kencan pertama pasangan baru."

"Saya dan Jero nggak pacaran." Daisy tersenyum kaku sambil diam-diam melirik gaunnya lagi. Ia terdiam beberapa lama, lalu tahu-tahu menyingkir dari tempat mereka dan masuk ke dalam kamar. Lima menit kemudian ia sudah keluar dengan pakaian lebih santai, kaos dan celana pendek.

Every Little ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang