Daisy berdiri di depan lemari pendingin minimarket, melihat dari kejauhan bagaimana Jero baru saja membayar puluhan kaleng bir belanjaannya.
"Sekalian beli kantong belanja, Mas?" tanya sang kasir.
"Lo nggak liat gue bawa tas?"
Daisy menggeleng takjub. Alih-alih memikirkan Jero yang tidak bisa bicara baik-baik selayaknya orang normal, ia membalikkan badan untuk membuka pintu lemari pendingin. Wajahnya berubah cerah begitu melihat Milo. Asyik. Minuman cokelat ini bakal jadi penyelamat dahaga di udara panas terik yang—kemudian diam, secepat senyumannya terbit, secepat itu pula ia sirna, Daisy baru ingat ia tidak punya uang.
Dengan berat hati dan bibir tertekuk, minuman itu diletakkannya kembali ke lemari pendingin. Sungguh menyedihkan, saat ia memutuskan kabur ke Bali, tidak pernah sekalipun terlintas dalam pikirannya bahwa ia bakal semelarat ini—seorang Yasa seperti dirinya yang tidak pernah kesulitan membeli gaun Oscar de la Renta atau produk Apple terbaru, kini bahkan tak bisa membeli minuman cokelat di bawah sepuluh ribu Rupiah.
Daisy menghampiri meja kasir, di saat bersamaan Jero sedang kesusahan menjejalkan semua bir ke dalam tas.
"Sudahlah, Mas, beli kantong belanja aja. Cuma lima puluh ribu." Kasir menyodorkan kantung belanjaan produknya sendiri. "Beli ini gratis nomer handphone saya."
Kesal melihat tas ranselnya yang sesak, tangan Jero merogoh ke dalam dan menarik sebuah kantung kain berisi entah apa. Saat kantung itu dikeluarkan, sebuah benda kecil lain ikut terjatuh sampai ke atas kaki Daisy.
Daisy menunduk mengamatinya.
Pertama-tama, ia tidak mendengar apa pun selain makian Jero yang menyebut sejenis jasad hewan, lalu menyusul desahan dan siulan nakal sang kasir. Begitu sadar benda itu adalah kondom, Daisy terkesiap dan segera menyingkirkan kaki.
Jero membungkuk memungut benda itu. Lalu menunjukkannya pada kasir. "Gue nggak nyolong ini, oke?"
Daisy mengernyit. Pria itu bisa saja mengatakan 'ini bukan punya gue', atau 'gue nggak tau kenapa bisa ada di tas gue'. Atau mungkin ia yang terlalu naif mengharapkan demikian? Apa pun itu, Jero yang membawa kondom bukanlah urusannya. Tak peduli meskipun pilihan pengamannya sangat anti mainstream seperti glow in the dark spike dotted with bubblegum flavour—bergerigi tajam dengan rasa permen karet dan bisa menyala dalam gelap.
Daisy sampai menahan napas, apa maksudnya 'bergerigi tajam', dan kenapa harus glow in the dark segala? Apakah benar-benar menyala seperti lampu neon? Dan kenapa bubble gum? Apa mereka juga menyediakan varian rasa aneh lainnya? Tiramisu? Thai milk tea?
Saat tatapan mata kasir melayang ke tempatnya dengan seringai genit penuh arti—seakan sedang membaca pikirannya—pipi Daisy memanas dan ia memutuskan keluar dari mini market.
Daisy membetulkan letak maskernya sembari menunggu di samping motor Jero. Diamatinya warung-warung makan di sekelilingnya. Perutnya lapar. Timo memang sudah mengajaknya makan, tapi ia terlalu sungkan untuk mengambil porsi banyak. Tadi pagi di meja dapur juga tersedia banyak makanan, ia ingin mengambilnya, tapi ia ingat Jero pernah mengatakan bahwa guest house mereka tidak menyediakan sarapan. Jadi lebih baik menahan lapar. Beginilah nasib manusia yang hidup tanpa sepersen pun uang.
Jero keluar dari mini market beberapa menit kemudian. Sambil meletakkan tas ransel penuh birnya di atas motor, ia memandangi Daisy.
"Daisy."
"Ya?" Glow in the dark, spike dotted, bubble gum flavour. Hentikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Every Little Thing
Romance1. Dilarang memplagiat cerita ini 2. Dilarang memposting ulang cerita ini entah itu di Wattpad maupun 'CUMA' di Twitter atau Instagram 3. Mencopy paste cerita aku dan mengganti nama tokohnya, itu salah. [Kelanjutan dari Everything] Setelah pertunang...