e

47.2K 7.7K 2.4K
                                    

Timo mendatanginya pagi-pagi sebelum semua tamu Praba—yang kini hanya tersisa dua—bangun. Masih dengan pakaian kemarin dan wajah kuyu, pria itu menghampiri Jero.

"Elo beruntung, pertama : Magnus masih hidup, kedua : dia nggak akan laporin lo ke polisi dengan pasal penganiayaan, dan dia nggak akan berkoar-koar di sosmed. Berterima kasihlah sama gue yang masih punya otak ini, nggak kayak lo yang cuma pake otot. Gue yang harus mohon-mohon sama Magnus buat nggak perpanjang masalah ini—"

"Gimana dengan temen-temen dia yang ngambil foto Daisy?"

Timo membelalak tak percaya. "Lo beneran peduli sama hal itu sedangkan Praba udah di ujung tanduk?"

Jero mengulangi pertanyaan yang sama. "Gimana dengan temen-temen si bangsat itu yang udah ambil foto Daisy?"

"Nggak ada, men! Nggak ada yang ngambil foto Daisy Yasa! Malah mereka nuntut ke gue karena Pak Komang udah rusakin handphone mereka! Puas lo?!"

"Handphone doank yang rusak? Gue bisa dengan senang hati rusakin tempurung kepala mereka."

"Heh," Timo menudingnya. "Nggak usah sok jagoan. Cukup kemaren aja lo bawa kehancuran buat Praba."

"Kehancuran buat Praba? Lo pernah mikirin Keiko? Pak Komang?"

"Terus lo mau nuntut Magnus atas kesalahan apa? ML sama Keiko yang atas dasar suka sama suka? Magnus bilang Keiko yang duluan ngajak dia. Jadi siapa yang salah, hah?"

"Gue nggak peduli siapa yang ngajak duluan!" Jero makin naik pitam. "Si bangsat itu udah nyekik dan mukul Keiko, itu namanya pemaksaan! Dengan segala hormat ya, Tim, lo punya ibu dan adik perempuan. Gimana perasaan lo, kalau mereka yang nyaris diperkosa malah disalahin karena 'ngajak duluan'?!"

"Oke, jadi si anus itu pecinta BDSM, so what? Yang penting Keiko nggak mati, kan? Namanya juga lagi mabok."

"Dia juga nyerang Pak Komang," Jero bernapas cepat untuk menahan amarahnya. "Lo mau bilang apa lagi? Pak Komang yang ngajak duluan?"

"Pak Komang nggak luka, kan? Terus? Apanya yang harus dibesar-besarkan?"

"Lo nggak liat dia nindih Pak Komang di lantai? Orang tua diseret, dilempar-lempar kayak gitu, dan lo bilang nggak pa-pa?! Di mana otak lo?!"

"Heh, justru gue satu-satunya orang di tempat ini yang pake otak! Di mana otak lo waktu lo gebukin tamu kita sampe babak belur, hah?! Lo nggak mikirin kerugian Praba kalau sampe Magnus kasih ulasan jelek?"

"Persetan sama ulasan dia! Gue nggak peduli!"

"Gue peduli, anjing! Lo kira Praba punya lo doank? Gue juga invest di sini! Gue yang harus kerja keras beresin semua keributan yang lo buat! Asal lo tau ya, waktu gue negosiasi sama Magnus, dia minta uang tutup mulut yang gede dan gue pake duit lo buat bayar!"

Jero berkacak pinggang marah. Yang membuatnya kesal bukanlah soal uang, tapi kenapa mereka justru harus mengalah pada orang orang yang jelas-jelas bersalah.

"Duit lo itu udah tipis, men! Kemaren lo abis bayar utang bapak lo, kan? Dan sekarang lo bayar semua biaya perawatan sama biaya tutup mulut Magnus! Makan tuh kerjaan lo!" Timo menarik pakaian Jero dengan kesal, lalu berbisik sengit. "Mestinya lo biarin aja dia mau ngapain! Kemarin itu nggak ada korban jiwa, gobloooook, Keiko nggak kenapa-napa, Pak Komang juga nggak lecet-lecet, dasar lo-nya aja yang bego!"

"Jadi menurut kamu, aku nggak kenapa-napa?" Keiko menghampiri tempat mereka. Gadis itu menarik lengan pakaiannya ke batas siku untuk memperlihatkan luka lebam di sana, lalu menurunkan kerah pakaiannya untuk menunjukkan luka berwarna gelap di leher. "Menurut kamu ini nggak kenapa-napa?"

Every Little ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang