Daisy berlari riang dari gerbang taman menuju tempat kedua orangtuanya duduk, dengan rambut terkucir lucu dan satu tangan memegang kotak Milo. Wajahnya berseri-seri, pipinya kemerah-merahan dengan beberapa butir keringat mengucur dari dahi.
"Gimana main-mainnya di taman?"
"Senaaaaaaaang~ Lihat aku dapat apa," ujarnya sambil mengacungkan kotak Milo ke wajah Papa. "Ada yang kasih aku, katanya aku anak baik."
"Tapi kamu nggak suka cokelat."
"Mulai sekarang aku suka."
Mama tersenyum bangga menatap Papa. "Lihat, kan? Anak kita gampang berteman. Dia pintar gaul kayak mamanya." Kemudian Mama membungkuk di hadapan Daisy sambil tersenyum jahil. "Nanti Mama keluarin kamu dari sekolah asrama bobrok itu, kamu pindah ke sekolah baru yang lebih banyak teman. Mau?"
Daisy mengangguk. Meski di usianya yang tujuh tahun ini, ia masih belum terlalu paham mengapa Mama, Papa, dan Oma, selalu berdebat tentang sekolahnya.
Kata Mama, sekolah asramanya terlalu membosankan dan mirip penjara. Murid-muridnya perempuan semua. Mama khawatir jiwa sosial Daisy tidak bisa berkembang.
Sedangkan menurut Papa, Daisy sudah berada di sekolah yang tepat; jauh dari keramaian, tertutup, serta kebetulan dihuni anak-anak elite yang butuh 'perlindungan'. Pola pikir Oma lebih sederhana; sekolah asrama mengajarkan nilai-nilai agama yang lebih kuat dibanding sekolah biasa. Oma tidak ingin Daisy tumbuh liar seperti Mama.
Minuman Milo-nya sudah habis dan Daisy berjalan menggandeng kedua orangtuanya sambil bernyanyi lagu Doraemon, Papa dan Mama masih saja berdebat.
"Setidaknya tunggu sampai SMP, baru pindahkan dia."
"Nunggu apa lagi sih, Mar? Makin cepat makin baik."
"Kita harus diskusikan ini dulu sama ibu kamu."
"Biar kamu dapat dukungan?"
"Biar kamu nggak sembrono ngambil keputusan besar buat anak kita."
"Aku ibunya. Percaya deh, aku mau yang terbaik buat Daisy. Sekolah model penjara, gitu. Daisy bahkan nggak boleh ngobrol sama anak cowok karena kepseknya takut dia 'terkena bisikan setan'. Alasan konyol apaan tuh?!"
Daisy benci melihat orangtuanya bertengkar, ia harus segera mengalihkan pembicaraan. "Ma? Pa? Di umur berapa aku boleh punya kucing?"
"Mungkin setelah nanti kamu kuliah dan tinggal di luar, Cupcake. Papa kamu alergi bulu kucing."
"Tunggu dulu," Papa bertambah cemas. "Siapa bilang dia bakal kuliah dan tinggal di luar?"
Rupanya kucing topik yang buruk. Daisy mengganti haluan. "Umur berapa aku boleh punya anak?"
Mama pun tertawa. "Umur berapa aja asal kamu bisa tanggung jawab—"
Dan Papa langsung memelotot. "Mungkin sekitar tiga puluhan, Sayang. Jangan terlalu cepat."
"Gimana caranya biar bisa punya anak?"
"Suatu hari nanti kamu bakal bertemu dengan orang yang kamu sukai, kalian akan menjadi teman, lalu pacaran, dan menikah, setelah itu punya anak. Umur berapa pun, Mama akan support kamu."
"Aku mau married sama Papa." Daisy bergelanyut manja di lengan sang ayah. "Bisa?"
"Bisa."
"Tapi enggak semua pria di luar sana seperti Papa. Kamu harus hati-ha—"
Mama langsung menyolek lengan Papa untuk menyuruhnya diam. "Cupcake, di dunia ini ada orang jahat, ada juga orang baik. Untuk ketemu yang seperti Papa kamu gampang-gampang susah, tapi Mama yakin nanti kalau kamu sudah dewasa, kamu bisa membedakan sendiri. Percaya aja sama hati kamu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Every Little Thing
Romance1. Dilarang memplagiat cerita ini 2. Dilarang memposting ulang cerita ini entah itu di Wattpad maupun 'CUMA' di Twitter atau Instagram 3. Mencopy paste cerita aku dan mengganti nama tokohnya, itu salah. [Kelanjutan dari Everything] Setelah pertunang...