m

48.5K 6.9K 875
                                    

Jero bukan makhluk pagi. Biasanya jika tidak ada jadwal penting atau kebakaran dan gempa bumi, ia akan melanjutkan tidur sampai setidaknya pukul sembilan atau sepuluh. Tapi khusus hari ini saja, ia sudah meninggalkan tempat tidur pukul lima subuh, pergi ke pasar, dan mulai sibuk di dapur sampai setengah tujuh.

Roti panggang, irisan alpukat, telur orak-arik, sampai jus buah segar sudah tertata di meja makan. Jero berbangga hati menatap semua hasil kerja kerasnya. Bisa kasih makan se-RT.

Tiba-tiba tatapan Jero berubah kosong dan keningnya berkerut-kerut seperti orang putus asa, sial, ia baru teringat sesuatu. Hari ini adalah batas terakhir membayar cicilan hutang Ayah. Seketika itu juga mood-nya langsung anjlok sampai ke liang kubur. Duit lagi, duit lagi.

"Jer?" Magnus, turis dari Jakarta yang hari ini harus diantar ke Batu Kursi, mulai memanggilnya tak sabaran.

Jero menutup makanannya dengan tudung saji. Lalu ditinggalnya semua itu untuk berangkat mengantar rombongan turis. Tidak perlu mengetuk pintu kamar itu untuk memberi tahu ada sarapan di meja, ia yakin Daisy bisa mengambil sendiri makanannya.

***

Menjelajahi Batu Kursi sebelum siang adalah ide terbaik. Tapi akan lebih baik lagi jika mengosongkan kandung kemih sebelum mendaki, jangan seperti rombongan Magnus yang sedikit-dikit merengek ingin mencari semak-semak atau pohon.

Setelah Jero bersikeras bahwa mereka tidak boleh buang air sembarangan, maka botol air mineral menjadi solusi terakhir.

"Danke," Magnus berterima kasih dalam bahasa Jerman karena ayahnya memang berasal dari Jerman. Lalu dengan santainya mendorong botol isi air seninya ke dada Jero. Sengaja, toh Jero mengatakan tidak boleh buang sampah sembarangan. "Pegangin ya, sampe ketemu tong sampah."

Jero mengumpat sebangsa kotoran di hatinya.

Ia bisa saja melempar botol itu ke wajah Magnus. Tapi lebih baik menahan diri. Bajingan sok kaya itu adalah Youtuber terkenal yang diikuti banyak traveller serta backpacker, Praba membutuhkannya untuk mendapat review bagus. Timo juga sudah wanti-wanti sejak kemarin, ia harus bersikap baik pada Magnus demi Praba.

Setelah melewati ratusan anak tangga sejauh 700 meter, mereka akhirnya tiba di puncak bukit dan beristirahat. Jero melirik arlojinya, sudah pukul sembilan. Mereka harus bergerak cepat atau gerombolan milenial ini akan mengeluh karena kulit gosong.

"Sebelum kita masuk ke Pura, gue mau jelasin dulu beberapa hal penting. Pura ini termasuk salah satu tempat keramat yang harus dihormati, kita jaga sikap, jaga omongan, nggak boleh buang sampah sembarangan, dan untuk perempuan yang lagi datang bulan jangan—"

"Pfffff," Magnus mengibas tangan. "Nggak perlu penjelasan segala lah, kita cuma mau bikin konten doank kok."

"Gue sih nggak dateng bulan. Cuma lagi horny aja," seru salah satu dari rombongan Magnus yang wajahnya mengingatkan Jero pada bakpia—bulat, gosong sebelah, tapi gepeng dan basi pula. Membuat Jero ingin membuangnya ke tong sampah.

Semua orang mulai tertawa kencang, sementara Jero berkacak pinggang meninggalkan mereka. Ini di luar kemampuannya. Tidak heran Timo selalu bilang kemampuan bersosialnya nol. Urusan pura-pura tertawa untuk sebuah lelucon yang tidak lucu atau bermulut manis demi menghibur hati banyak orang, bukanlah keahliannya. Bayangkan sekacau apa jika ia bekerja sebagai customer servis.

Jero berdiri di tepi bukit, menyipitkan mata menikmati pemandangan sekitarnya yang menakjubkan. Semuanya terlihat sempurna, seperti surga di bumi. Padang rumput membentang luas membungkus seluruh bukit dengan warna hijaunya yang menenangkan. Teluk Pemuteran yang kebiruan pun menyapanya dengan perahu-perahu nelayan kecil yang mengambang di atas. Begitu sederhana. Indah. Menikmati matahari terbit di tempat ini adalah keharusan.

Every Little ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang