Daisy mengamati lima nenek turis Korea, yang sedang terbahak-bahak di tengah gulungan ombak saat belajar surfing. Berkali-kali mereka menarik, menjambak, dan mendorong Jero yang hanya bisa termangu pasrah. Mereka berkerumunan dan memanggilnya 'Rambo', karena mungkin lebih mudah ketimbang menyebut nama Jero.
Daisy tersenyum kecil di hamparan pasir tempatnya duduk. Diam-diam, diamatinya Jero yang sedang bersusah payah memegangi salah satu nenek yang mencengkeram lengannya sambil histeris.
Menilai dari bentuk tubuh Jero, Daisy tidak terlalu heran mereka memanggilnya Rambo—lekuk otot bisepnya, perut kotak-kotaknya, dada atletisnya ....
Daisy tercengang sejenak, kaget, lalu buru-buru menunduk demi mencari fokus lain. Jantungnya berdebar tidak karuan, seperti anak gereja tak berdosa yang baru saja tertangkap basah berbuat dosa. Tiba-tiba suara suster kepala bekas sekolah asramanya dulu, terngiang di telinga—'jangan dekat dengan anak laki-laki, bisa kena bisikan setan'.
Mungkinkah ini yang dinamakan bisikan setan?
Seolah tidak membuat keadaan semakin baik, sumber dari segala setan itu kini datang dan duduk tepat di sampingnya.
"Gue nggak ngerti gimana caranya ngajarin mereka surfing. Lihat ombak aja histeris kayak liat nuklir Korut."
Daisy berusaha memasang senyum senormal mungkin, sambil menggosok tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.
"Napa pipi lo merah gitu?"
"... kepanasan." Padahal langit di atas sedang mendung.
Jero memandangi langit, lalu kembali memandangi Daisy. Kemudian keduanya bertatapan lama. Daisy mengutuk Jero yang seenaknya bertelanjang dada di depan matanya, sementara Jero menahan diri untuk tidak menertawakan wajah Daisy yang merah seperti balon.
Demi mengakhiri kecanggungan di antara mereka, Jero menunduk untuk mengamati buku memo pemberiannya. Daisy masih menggenggam buku itu di atas pangkuan.
"Kalau lo nggak merasa nyaman, abis nulis itu, elo nggak perlu nunjukin ke gue. Disimpen aja buat diri sendiri."
Daisy tersenyum kecut. Meski diam-diam lega karena ia tahu keberaniannya untuk terbuka masih di angka nol. Memangnya apa yang harus ia tulis di buku itu? Kebenaran tentang semua yang dilakukan Zane padanya? Bisa-bisa buku ini berubah jadi novel erotis.
"Gue baru sadar gue nggak tau banyak tentang lo."
Daisy mengangkat bahu. "Emangnya mau tahu tentang apa?"
"Makanan favorit lo, mungkin?"
"Aku makan apa aja asal bukan serangga."
"Bener juga. Sate lima belas tusuk aja lo sikat semuanya. Kalau gue makan apa aja asal bukan duren. Warna favorit?"
"Hitam."
Jero terlihat sedikit kaget. Mungkin dipikirnya anak selucu Daisy akan menjawab pink atau warna-warna pastel.
"Lagu favorit?"
"Libiamo Ne' Lieti Calici."
"Buset," Jero menahan senyum. "Lo suka lagu opera?"
Gantian Daisy yang terkejut. Mungkin tidak menyangka Jero tahu tentang lagu satu itu. "Kamu?"
"Heroes dari David Bowie. Lagu terbaik sepanjang masa."
"Anjing atau kucing?"
"Anjing. Tapi gue nggak mau piara. Repot harus beresin eek-nya. Mending gue piara jin."
"Cita-cita waktu kecil?"
"Jadi pendekar shaolin. Tapi begitu masuk SMP, gue kepengen jadi anak band. Elo? Pasti mau jadi pianis." Jero mendelik pada jari tangan kanan Daisy yang sejak tadi tanpa disadari mengetuk lutut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Every Little Thing
Romance1. Dilarang memplagiat cerita ini 2. Dilarang memposting ulang cerita ini entah itu di Wattpad maupun 'CUMA' di Twitter atau Instagram 3. Mencopy paste cerita aku dan mengganti nama tokohnya, itu salah. [Kelanjutan dari Everything] Setelah pertunang...