Suara Tori Kelly melantunkan lagu Paper Hearts terdengar di dalam mobil Amara, menemaninya mengemudi sebagai pemecah sepi. Perempuan yang baru saja merasa kehilangan sedang mendengarkan setiap bait lirik lagu favoritnya. Tidak ada ekspresi di wajah Amara, datar saja. Semakin lama terlantun, liriknya semakin memenuhi otak. Dan, menjadi sepadan dengan suasana hati.
Goodbye love, you flew right by, love
Remember the way you made me feel
Such young love but
Something in me knew that it was realFrozen in my head
Pictures I'm living through for now
Trying to remember all the good times
Our life was cutting through so loudMemories are playing in my dull mind
I hate this part, paper hearts
And I'll hold a piece of yours
Don't think I would just forget about itRekaman ingatan membawa Amara pada bulan Oktober 2018, ketika Amara dan Randi memulai perbincangan serius tentang masa depan. Mereka duduk berdampingan di teras coffee shop, disuguhi pemandangan lampu gedung bertingkat di malam hari. Iya, Randi memang gemar berdiskusi sembari minum kopi. Sejauh ini, hal itulah yang membuat Randi klop di dekat Amara, pada bagian ini mereka sama. Amara tahu bagaimana membawa perbincangan menjadi menyenangkan. Setidaknya, membuat Randi nyaman untuk mengungkapkan isi kepala walaupun tidak sepenuhnya. Tidak sia-sia Amara pernah belajar antropologi di bangku kuliah, ilmu yang mempelajari tentang manusia. Amara menggunakan disiplin ilmu itu untuk memahami karakter Randi, agar bisa menyelami kepribadiannya. Tapi, belum tentu Amara bisa menyelami hati Randi.
"Aku butuh teman". Kata Randi.
"Ini sedang aku temani"
"Teman hidup maksudku. Aku sudah mau 30 tahun, kasihan orangtua sudah desak untuk menikah". Ucap Randi.
"Mas Randi udah siap nikah?"
"Siap enggak siap ya harus siap. Kan belum ada pengalaman, jadi harus dijalani nantinya. Amara udah siap?"
Kata tanya di ujung kalimat membuat Amara tercenung. Randi melemparkan pandangannya pada Amara.
"Siap, inshaAllah..."
"Kriteria calon suami yang Amara mau seperti apa?"
"Aku enggak banyak menuntut"
"Yakin? Nanti kalau salah pilih gimana?"
"Yang pasti harus seorang lelaki bertanggung jawab. Kalau Mas Randi ingin kriteria calon istri seperti apa? Fisiknya pasti harus bagus ya? Tinggi, langsing?"
"Aku enggak mempermasalahkan fisik, kok. Aku mencari perempuan yang bisa diandalakan, enggak manja"
"Diandalkan, misalnya?" Tanya Amara.
"Misalnya, kalau nanti aku enggak ada di dunia, dia bisa hidup mandiri. Bisa mengurus anak-anak, enggak ketergantungan sama aku".
Amara mengangguk pelan meresapi jawaban Randi. Ada rasa percaya diri membuncah dalam diri Amara. Bagaimana tidak, selama ini Amara adalah perempuan mandiri, anak tunggal yang hidup jauh dari kedua orangtua. Dia datang ke ibu kota untuk bekerja dan berjuang merealisasikan mimpi. Perempuan yang ada di sebelah Randi ini yakin, bahwa dirinya pantas menjadi teman hidup. Apalagi Amara tahu, Randi punya reputasi yang bagus. Lelaki sederhana yang terlihat jujur, tidak ada sedikitpun tampang brandalan di wajah Randi. Itulah yang membuat Amara terkesan dengan Randi, tidak butuh waktu lama untuknya menyukai Randi Wirawan. Walaupun perkenalannya singkat, tapi mereka pandai mencari celah waktu untuk berbincang, tentang diri mereka masing-masing.
"Kamu punya kriteria itu. Aku mau kenal kamu lebih jauh"
Perkataan Randi seketika membuat Amara tersipu. Pandangan Amara tak lepas dari Randi. Senyuman tipis di bibir Amara sudah menggambarkan bahwa dia senang dengan apa yang baru saja didengar dari mulut Randi. Randi pun membalas dengan senyum simpul dari bibirnya. Mata mereka saling beradu, ada harapan dan keyakinan yang tersirat di mata Amara jika suatu saat mereka memang ditakdirkan bersama.
Tin! Tin!
Bunyi klason mobil membuyarkan lamunan Amara tentang kenangan bersama Randi. Amara melirik ke arah lampu lalu lintas sudah berwarna hijau.
**
Hening kini di dalam mobil Amara. Lagu Tori Kelly berhenti terlantun. Pandangan Amara fokus melihat jalanan ibu kota yang agak sepi kendaraan. Karena ini malam minggu, jalanan akan padat di atas jam sebelas malam. Jam dimana pasangan muda mudi dan keluarga selesai menikmati malam minggu. Amara pulang lebih awal, karena urusannya dengan Randi sepertinya sudah selesai.
Tapi, Amara masih bergumam sendiri, mencoba menelaah jika mungkin ada hal yang membuat dirinya terlihat buruk di depan Randi.
"Apa ada sesuatu yang bikin Mas Randi ilfil? Kenapa mendadak dia bilang enggak siap untuk nikah? Salah aku dimana sih?"
Sebenarnya, berlarian rasa penasaran dalam otak Amara. Satu jam yang lalu, saat masih di hadapan Randi, mulutnya sengaja dikunci untuk bertanya. Intuisinya sebagai seorang perempuan menolak untuk mendengar alasan lain yang akan membuatnya jatuh lebih dalam karena kekecewaan. Lagipula, Amara meyakini satu hal, semakin bertanya, maka Randi akan menutupi fakta sebenarnya dengan alasan menjaga perasaan. Itu adalah rumus ketika seseorang menolak dengan cara "baik-baik".
**
Pukul 21.30, Amara sudah berganti piyama berbahan katun berwana putih. Wajahnya sudah bersih dari make up, rambutnya dicepol ke atas. Tapi, raut sendu belum hilang dari wajah Amara, bahkan masih sangat kaku. Sepertinya malam ini dia lupa cara untuk tersenyum. Padahal, dulu di jam yang sama Amara selalu tersenyum sendiri menatap layar handphone. Salah satu tanda kejiwaan ketika otak menerima respon dari hati yang terkena busur panah dewa Amor.
Suasana kamar Amara temaram dengan table lamp menyala di atas meja kerjanya yang semakin mendukung keadaan hati. Amara duduk menghadap sebuah laptop HP berwarna silver berukuran 14 inch. Dia membuka laptop dan menekan tombol power, berniat menyalakan playlist lagu penghantar tidur. Tapi, pandangan Amara beralih ke handphone yang tergeletak di sebelah kanan laptop. Dia lirik layar handphone, lalu mengetuk layar dua kali dengan jari telunjuk. Kedua tangan Amara kini memegang handphone, membuka aplikasi pesan singkat dengan Randi. Sudah tahu hatinya kehilangan, tapi memaksa untuk membaca ulang percakapan di saat mereka masih menjalin frekuensi rasa yang sama.
Amara mengetik sesuatu pada layar hanphonenya. Rasanya, jarinya gatal ingin tahu tentang Randi, gatal untuk mengucapkan kalimat perpisahan. Mungkin terakhir kali untuk malam ini saja Amara bisa melakukan itu, selanjutnya dia akan benar-benar menghilang dan melupakan. Dia gemas dengan dirinya sendiri.
"Sejak awal pertemuan, aku pikir kita bisa bersama. Tapi ternyata, enggak. Sekarang kita benar-benar menjadi jarak. Have a good night, Mas Randi". Ucap Amara sambil menatap layar handphone.
KAMU SEDANG MEMBACA
REWIND [ON GOING]
RomanceAmara bertarung dengan rasa cinta dan sakit hati setelah penghianatan besar yang dilakukan Randi. Tapi, lelaki itu kembali! Haruskah Amara membalaskan dendam sakit hatinya atau meluluhkan semuanya demi cinta? "Aku nggak pernah memaksa kamu untuk mem...