SEBUAH KEPUTUSAN

183 8 0
                                    


"Jadi gimana, Mas Randi? Mau dibawa kemana hubungan kita?"

Amara memberanikan diri membuka perbincangan. Mata Amara dan Randi saling menatap. Mereka diam beberapa detik. Terlihat kecanggungan di antara mereka berdua malam ini. Pandangannya mirip, seperti saat mereka pertama kali bertemu di bulan September tahun lalu, di sebuah cafe di kawasan Kalibata. Kesan pertama yang baik tentang Randi di mata Amara. Lelaki dengan kulit putih, bersih, tinggi, matanya sipit memakai kacamata half frame. Kemeja kotak-kotak berwarna hijau, celana jeans biru dan sepatu warna coklat susu sangat cocok dikenakan Randi saat itu. Moment pertemuan yang disengaja setelah keduanya berkenalan dari media sosial. Kedua berjabat tangan. Nama lelaki itu, Randi Wirawan, yang akrab disapa Randi. Malam ini, Randi pun masih terlihat sama di mata Amara.

Randi menyeruput ice espresso double shot miliknya untuk menghilangkan ketegangan. Tatapan sejenak terlempar ke arah gelas kopi yang ada di depan mereka. Randi menatap Amara dengan senyum tipis, gurat tak nyaman dari bibir untuk mengeluarkan kalimat jawaban atas pertanyaan Amara.

"Iya, Amara... Aku udah ambil keputusan." Ungkap Randi.

Amara bersiap mendengarkan ucapan Randi, pandangannya tajam menatap Randi. Tidak ada sepatah kata keluar dari mulut Amara, sebelum Randi melanjutkan perkataannya. Jantung Amara berdegup dua kali lebih cepat dari sepuluh menit yang lalu. Rasanya panas dingin, tangan Amara berkeringat. Randi menggeser gelas kopi yang ada di depannya ke samping kanannya. Kedua tangannya dikatupkan di atas meja. Randi menegapkan badannya, lalu menarik napas dan berbicara.

"Kita udah berapa lama jalan bareng?"

"Ehm... Lima bulan"

"Lima bulan ya... hmmm"

"Hubungan kita harus ada progress, jangan jalan di tempat"

"Aku udah ambil keputusan..."

Amara masih terdiam, tangan kanannya memainkan sedotan plastik dalam gelas kopinya untuk mengalihkan ketegangan yang sedang dia rasakan malam ini.

"Apa keputusan kamu...?"

"Hubungan kita enggak bisa jalan ke depan, ternyata hati aku enggak bisa sama kamu".

Ucapan Randi memang menghancurkan hati Amara malam itu. Tangan Amara yang sibuk memainkan sedotan dalam gelas kopinya, terhenti. Dia menggeser gelasnya ke arah kirinya. Amara terdiam, menarik napasnya lebih dalam. Lalu membuang pandangan matanya dari Randi, menatap ke arah jendela. Amara tahu cara menenangkan dirinya. Dia tidak ingin terlihat lemah dan hancur di depan lelaki yang baru saja mematahkan hatinya. Perlahan Amara mengembalikan padangannya ke arah Randi. Menarik kedua ujung lengan baju, menata napasnya dan melayangkan senyum tipis di bibir.

"Aku terima keputusan kamu"

Terdengar seperti kalimat pasrah dari Amara. Tidak ada perlawanan maupun penawaran pada Randi untuk mengubah keputusan.

"Maafin aku"

"Aku enggak pernah memaksa kamu untuk memilihku. Semua berjalan apa adanya. Kalau kita belum disatukan, memang itu kehendak semesta".

Amara tahu, perkataannya di depan Randi bukanlah sebuah jawaban dari apa yang baru saja dilontarkan Randi, melainkan perkataan untuk menenangkan hatinya sendiri.

"Aku juga enggak tahu kenapa hati aku enggak bisa sama kamu, padahal secara logika, kamu perempuan yang memenuhi kriteria" Kata Randi dengan raut wajah canggung.

Randi berusaha menghibur hati Amara, dia paham benar sudah membuat hati perempuan di depannya patah. Amara senyum tipis mendengar perkataan Randi. Dia masih menutupi gundah hati yang dirasakan sendiri. Lalu ia menyeruput manisnya caramel macchiato miliknya, paling tidak untuk menyamarkan getir ketika menatap wajah Randi.

"Ikuti saja kata hati". Sahut Amara dengan tenang.

Perempuan yang malam ini mengenakan baju semi formal berwarna kuning dengan lengan panjang ini memang selalu terlihat tenang ketika menghadapi masalah. Dia tidak mau menghabiskan energi terlalu banyak untuk berkoar marah. Apalagi harus menitihkan airmata di depan lelaki. Bukan karena hatinya keras, namun dia tahu airmata bukan penyelesaian masalah. Dia tidak ingin terlihat mengiba dengan airmata yang lantas bisa mengubah sebuah keputusan.

"Mungkin, aku yang belum siap buat nikah. Sedangkan kamu udah pengen nikah kan?"

"Semua orang memang pengen nikah, tapi belum tentu semua orang siap buat nikah. Salah satunya kamu, kan?"

"Maafin aku ya, Amara. Aku jahat ya?"

Amara diam, hanya senyum tipis yang terlihat masam sebagai bentuk jawaban atas pertanyaan Randi. Rasa rikuh makin mengelilingi Randi setelah mendapatkan respon masam.

"Semoga kamu dapat yang terbaik ya, Ra". Ucap Randi.

"Klise..."

"Enggak pa-pa kalau kamu mau marah sama aku. Enggak pa-pa kalau kamu benci sama aku setelah ini. Aku pantas dapat itu semua dari kamu".

" You are not a gentleman as I thought".

Randi tertegun, diam dengan kata-kata Amara. Tidak banyak hal yang bisa dia katakan di depan Amara. Apapun yang Amara katakan, Randi dengarkan, tak ada bantahan sedikitpun.

"Kamu yang datang memberi harapan dan kamu juga yang pergi mengapus harapan". Kata Amara. 

REWIND [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang