9. KARIN

51 4 0
                                    

Aku melihatnya,

"inikah yang ditahannya selama ini? ",

aku hanya bisa melihat dari sela-sela pintu. Lalu aku menangkap lirikan matanya, kosong tetapi bibirnya tetap tersenyum. Aku pun memalingkan mukaku dari apa yang aku lihat. Aku menahan air mataku agar tidak terjadi keributan. Aku terduduk di samping pintu itu, aku melihat semuanya.

Rusuk yang yang kulitnya telah tersayat, punggung yang penuh dengan lebam dan lecet, bahkan mengungu. Lengan yang membengkak dan berdarah. Aku tak tau apa yang membuatnya begitu kuat. Aku tak ingin kenaifan ku menguasai diriku saat ini. Tetapi siapa juga yang dapat menahan rasa sakit itu sekaligus.

Aku ingin sekali memeluknya saat ini, tapi dia sedang ingin sendiri. Aku tak tau harus melakukan apa. Aku hanya ingin melihatnya bahagia. Aku tau apa yang dilewatinya selama ini, aku tau. Dia tak begitu cemerlang didalam pelajaran eksak, ia hanya bisa seni, sastra dan olahraga. Tapi kebanyakan, dia tak begitu meminati nya. Aku tau dirinya lelah, tapi aku tak tau harus melakukan apa.

Aku pun berusaha menahan perasaan ku. Aku begitu bodoh, karena tak bersamanya saat ia dalam terpukul, aku begitu bodoh membiarkan dirinya sendirian, aku begitu bodoh karena rela memarahinya secara berlebihan. Aku berusaha menenangkan diriku, aku tak mau dikuasai emosi ku sendiri.aku menghela nafas dan mengeluarkannya secara perlahan. Aku pun kembali ke dapur, membiarkan Ver untuk saat ini.

Aku mengingat kejadian kemarin, ia di bully lagi. Nilai ujiannya anjlok,dimarahi habis habisan oleh guru-guru dan dikucilkan oleh teman temannya, dan berkelahi lagi. Aku tak tau isi kepala dan apa yang ia rasakan, tapi aku berusaha tetap bersamanya, untuk saat ini. Yang aku lihat kemarin hanya seorang anak yang sendirian, sedang duduk di depan pintu rooftop, mengahadap ke langit dan tersenyum miring melihat ku. Baju dan jilbab yang compang-camping, malahan sobek, penuh dengan darah temannya dan ia hanya menatap kosong kearah ku.

Aku tak begitu mengerti terhadap dirinya sebenarnya, karena ia tak mau menceritakan semuanya, ia menyimpan segalanya hingga ia " Pecah". Sudah berapa kalinya aku menasehati nya, tapi ia hanya tersenyum miring dan berkata "I'm okay Rin, nggak apa kok " dengan muka sendu dan senyumnya yang khas itu. Aku tau ia menolak mentah mentah apa yang kukatakan, tapi ia mungkin tak berani membantah apa yang kukatakan.
Ia selalu begitu, aku tak begitu ingin tahu sebenarnya, tapi aku tak bisa membiarkannya tersesat lebih jauh lagi.

Aku pun menuangkan sup kaldu ke mangkuk kecil, lalu aku pun memanggil Ver, yang kudengar hanya teriakan "ya" yang cukup lemah, lalu keluarlah ia. Rambut yang diikat seadanya, badan yang cukup kurus, berjalan gontai menghampiri ku. Aku pun tersenyum untuk mencairkan suasana, kemudian aku menyuruhnya duduk, ini canggung, serius. Ia pun menyendoki nasinya, lalu ia pun bertanya "lu ngintip gw tadi ya? ". " Frontal bat ni anak jancoeg" gumamku, aku hanya bisa tertunduk malu dan mengakui kesalahan ku. "Iya" jawabku lirih.

Ia pun tertawa, "Segitu ngebetnya elu Rin, dasar otak mesum ". " Anjeng, gw cuma sekilas tadi njir, gw nggak tau, serius! " Ucapku salah tingkah karena malu.

"Bwahahahahahaha, its okay, elu pun udh biasa nengoknya gak, nggak ada yah wah lagipula"

"Ni anak kok ngeselin bat , pengen gw gigit saking geramnya" gumamku.

"Btw gimana nasi gorengnya? enak gak? " Tanyaku untuk mengubah topik pembicaraan.

"Still good as usual kok" jawabnya singkat.

Aku tau apa yang dibenakknya sekarang. Ia merindukan seseorang. Tatapan kosong tetapi sendu itu cukup mengisyaratkannya. Seorang anak manusia yang duduk dihadapan ku ini, sudah cukup untuk merasakan kesepian yang begitu dalam. Cukup. Dirinya butuh kebahagiaan.

Aku tak tau apa yang membuat dirinya bahagia. Karena aku juga tak mau mengusik privasinya. Ia begitu tertutup dan misterius. Bahkan aku saja tak dapat membuka atau merobohkan dindingnya. Aku ingin sekali ia menceritakan kepadaku apa yang dialami nya hari ini.

Tapi aku tau, dia pasti berkata "I'm fine"
dengan senyum yang miring itu.

"Rin?, nggak makan? "

"Udah makan tadi di tempat kerja" jawabku berbohong.

"Oh oklah'' jawabnya singkat.

" Anjeng ni anak, udh manggil, cuma nanya gituan, bangsat " gumamku. Arghhhh, diriku kesal setengah mati dibuatnya. Rupanya ia telah selesai makan, dan meletakkan piringnya di tempat cucian piring. Aku sudah menawarkan kalau biar aku saja yang mencucinya, tapi ia menolak. Aku melihat dirinya menggulung lengan baju nya.

Tulang yang terlihat jelas, bekas luka dan bekas sayatan yang masih segar. Dirinya kambuh ternyata. Aku pun menghela nafas cukup panjang. Aku pun menghampirinya. Lalu aku berdiri di belakang punggungnya. Punggung yang separuh bungkuk, yang harus menahan semua ini.

Aku pun melingkarkan tangan ku di pundaknya. Air mataku menetes. Ia membiarkan ku melakukan ini. Air mataku tak bisa terbendung lagi. Ia pun mengeringkan tangannya. Tangan itu meraih tanganku, tangan yang begitu dingin dan kurus.

"Rin, its okay, aku disini"

"Shut up njeng, bukan hal itu goblok! " Ucapku marah

Lalu ia tertawa renyah, dan berkata

"Elu nggak perlu menerka nerka apa yang gw lakuin, elu nggak perlu nangis ngeliat gw, gw masih hidup dan pengen hidup"

"Ver..... I'm sorry"  aku tak bisa menahan tangisku

Ver memutar badannya dan memelukku. Posisiku sedang terduduk. Ia memelukku, aku merangkul badannya begitu erat dan mengucapkan beribu kata maaf ke dirinya. Aku bisa merasakan tangannya di kepalaku, aku semakin menjadi. Ia tetap diam dan sesekali aku melihat nya tersenyum, senyuman yang begitu tulus yang pernah aku lihat. Aku menangis, setelah sekian lama menjadi kuat.


"Karin"

Suara itu menangkan ku.

"Nggak apa elu nangis sekarang, setidaknya ada gw, walaupun kita sama sama punya luka masing-masing, kita masih bisa saling menguatkan"

Aku pun terdiam, lalu ia melanjutkan perkataannya

"Elu nggak perlu minta maaf karena gak ada waktu gw sedih, elu nggak perlu minta maaf karena ngintipin gw, elu nggak perlu minta maaf buat segala kejadian yang udah berlalu, gw tau elu udah berusaha juga buat beberapa tahun ini, gw tau"

Air mataku kembali mengalir, ia tersenyum di hadapan ku. Senyuman yang begitu menenangkan. Aku memeluknya begitu erat, hingga aku bisa merasakan hangat tubuhnya.

"Elu kalo mau nangis nangis aja ya, jangan ditahan, nanti pecah nya ambyar neng, I'm with you till the end of the line. Je t'aime"

Di sore hari yang begitu sendu ini, aku tertampar olehnya. Belengu rasa bersalah ini akhirnya lepas. Aku tetap memeluk sahabatku ini. Ia pun membiarkan ku, aku merasa tenang. Dihinggapi oleh cahaya senja yang menyusupi masuk lewat jendela. Menerpa kami berdua.

"Kita hanya sepasang luka yang berusaha sembuh, tapi akhirnya bukan waktu yang menyembuhkan, tapi kerelaan didalamnya"





 


ABNORMALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang