Rindu itu selalu ada. Dan tak akan pernah ada habisnya.
***
Jadi anak kelas dua belas itu serba sibuk. Sibuk pelajaran, tugas, membagi waktu dengan hobi, intinya sibuk banyak hal. Aelsya bahkan kadang sampai keteteran sendiri membagi waktunya.
Aelsya memang bukan cewek yang disiplin. Berbeda dengan Aero, ataupun Arlan. Kedua cowok itu penganut sifat disiplin abadi bagi Aelsya. Mereka selalu bisa membagi waktunya dengan sangat baik. Dulu saat dirinya masih bersama-sama dengan Arlan dan sering menghabiskan waktu bersama, Aelsya tidak pernah mendengar keluh kesah Arlan. Padahal jika dilihat-lihat, kesibukan Arlan jelas lebih padat daripada Aelsya. Lalu, soal Aero, Aelsya juga tidak pernah mendengar cowok itu mengeluh. Kalaupun capek, Aero hanya diam. Berbeda sekali dengan Aelsya yang selalu mengeluh sana-sini.
Aelsya menghembuskan nafas. Ia menatap kumpulan asap yang ada di atas teh panasnya. Cewek itu mengalihkan perhatiannya buku notes harian miliknya. Suara helaan nafas itu terdengar lagi. Kedua mata Aelsya hanya mampu pasrah menatap banyaknya catatan pr yang ia tulis disana. Ada sekitar sepuluh tugas yang belum ia kerjakan. Dan parahnya lagi, semuanya dikumpulkan dalam waktu dekat.
Aelsya ingat benar pesan terakhir yang Arlan berikan padanya. Cowok itu bilang, "Kalau ada tugas itu dikerjakan. Jangan banyak mengeluh. Mungkin saat ini kamu masih bisa mengeluh padaku, tapi saat aku pergi nanti, kamu mengeluh sama siapa? Mulai sekarang, belajar mandiri ya. Arlan Arlego memilih pacar karena dia istimewa. Berbeda dari kebanyakan orang. Untuk itu, buktikan kalau kamu bisa. Aku sayang kamu, Aelsya." awalnya Aelsya agak tidak percaya juga dengan sederet kalimat panjang yang ia dengar dari Arlan. Tapi makna ucapan cowok itu berhasil membuat Aelsya tersadar. Aelsya tentunya harus mandiri. Karena ada masanya dia ditinggalkan. Tangannya yang dulu digenggam suatu saat pasti akan dingin karena terkena sapuan angin.
Aelsya juga ingat benar akan ekspresi wajah yang Arlan tampilkan. Datar memang. Hanya sedikit senyuman yang sesekali muncul di bibir cowok itu. Arlan juga bukan cowok romantis. Tapi perlakuan dan ucapan cowok itu kadang membuat Aelsya jadi tidak karuan.
Di tengah lamunannya, suara ponsel gadis itu berbunyi. Aelsya buru-buru berdiri dan mengambil handphonenya yang ada di atas kasur. Nama Aero yang tertera dalam panggilan vidio yang tertampil di ponselnya membuat senyum Aelsya merekah. Cewek itu segera menerima panggilannya.
Wajah dari sang kakak yang tersenyum manis membuat hati Aelsya menghangat. Aelsya merindukan kakaknya. Kakak yang selalu pengertian dan tak pernah lelah menyayangi Aelsya. Dia selalu ada dalam kondisi apapun yang Aelsya rasakan. Dan Aero juga bisa menempatkan dirinya dengan baik dalam semua kondisi Aelsya.
Mata Aelsya berkaca-kaca. Senang dan bahagia tentu jangan ditanyakan.
"Kak Aeroooo." cewek itu berucap senang. Membuat sang pemilik nama itu juga ikut tersenyum.
"Apa kabar? Kamu sehat?" Aelsya mengangguk. "Sehat, kak. Aelsya, sehat. Kakak sendiri bagaimana disana? Kakak sehatkan?"
Aero mengangguk, "Kakak sehat, kok." balasnya. "Kamu lagi ngapain?" Tanya cowok itu lagi.
Dengan semangat Aelsya mengarahkan ponselnya pada setumpuk buku dan alat tulis di meja belajar. Aelsya ingin membuktikan kalau ia sudah bisa mandiri dan rajin belajar.
Aelsya mengarahkan ponselnya ke wajahnya lagi. Cewek itu bisa melihat senyum puas dari sang kakak. "Bagus. Belajar yang giat, ya. Sudah kelas tiga, jangan malas. Apalagi bolos. Kamu ingin wujudkan cita-cita, kamu, kan?"
Aelsya mengangguk antusias. "Iya, kak. Pasti itu!" ucapnya semangat.
"Buktikan pada papa dan mama kalau kamu bisa. Semangat belajar dan jangan pernah menyerah. Kakak akan selalu dukung kamu. Apapun cita-cita kamu, kakak selalu dukung. Kamu harus wujudkan cita-cita kamu, ya." Aelsya mengangguk antusias.
Aero tersenyum. Tapi setelahnya raut wajah cowok itu berubah menjadi sendu. "Jika cita-cita kakak tidak terwujud, kamu sebagai wakil kakak yang harus gantiin. Mungkin memang kakak tidak bisa wujudkan cita-cita yang kakak miliki, tapi kamu harus. Cukup kakak saja yang dilarang papa dan harus mewujudkan apa yang papa minta. Kamu jangan. Kakak akan selalu bela kamu meskipun cita-citamu tidak sesuai harapan papa. Hidup dengan keterpaksaan itu menyiksa, dek." setetes air mata jatuh dari mata Aero. Aelsya tahu benar apa penyebabnya. Kakaknya itu dipaksa masuk universitas luar negeri dengan jurusan yang bukan keinginannya. Aero diminta meneruskan bisnis sang papa. Padahal cowok itu tidak menyukai dunia bisnis.
Aelsya ingat dulu kakaknya sangat rajin menceritakan apa yang dicita-citakannya padanya. Seolah cita-citanya itu akan terwujud. Aelsya juga tahu semangat yang dimiliki Aero untuk mewujudkan cita-citanya itu sangat tinggi.
Lewat layar ponsel yang menampilkan wajah sang kakak, Aelsya bisa melihat ada beban yang tersimpan lewat sorot mata kakaknya. Dan Aelsya tahu, beban itu cukup berat.
Wajah sendu Aero tidak berlangsung lama, karena dengan cepat cowok itu kembali mengubah raut wajahnya dengan senyuman.
"Ohya, dek, kenalin nih, ada temennya kakak namanya Redilf. Dia keturunan Australia-Inggris." Aero mengarahkan ponselnya pada seorang cowok yang ada di sebelahnya. Cowok itu tersenyum. Dia memberi sapaan pada Aelsya.
Aelsya tent terpekik. Dia kaget melihat wajah rupawan yang dimiliki Redilf. "Aaa! Ganteng banget, sih, kak!" ucapnya antusias.
Aero mendengus. "Gak boleh. Inget, kamu kan udah dimiliki Arlan. Udah dibilang suruh nunggu juga." mendengar itu, senyum yang tadinya terbit di bibir Aelsya kini menghilang.
Mengingat Arlan membuat gadis itu sedih kembali. Menyadari perubahan raut wajah adiknya, Aero langsung bertanya. "Kenapa? Masih rindu, ya? Masih belum dikasih kabar juga?"
Aelsya mengangguk. Aero tersenyum tipis. "Dek, Arlan itu lagi fokus belajar. Disana dia lagi ngejar cita-citanya. Agar kelak saat dia berhasil mencapai impiannya, dia bisa menemuimu dengan kebanggaan." Aero menjeda kalimatnya. "Udah ah jangan sedih lagi. Jangan galau lagi. Senyum, ya. Inget, fokus belajar. Jika disana Arlan buktikan kalau dia akan wujudkan cita-citanya, maka kamu juga harus buktikan kalau disini kamu juga melakukan hal yang sama."
Aelsya mengangguk. Cewek itu tersenyum. "Sudah, ya. Kakak tutup dulu teleponnya. Selamat malam."
Aelsya mematikan ponselnya. Aero memang bisa membuat moodnya membaik. Dan setidaknya, Aelsya merasakan sedikit ketenangan.
Aelsya yakin, Arlan pasti akan kembali. Nanti, dengan impian yang sudah berhasil ia wujudkan.
***
Malang, 27 September 2019
Next?!
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us || Arlan Series
Teen FictionAyo bercerita tentang kisah mereka Cover diambil dari pinterest atas nama stayczennie