Seven, aku marah sama mereka, Pa!

81 6 5
                                    

“Papa!”

Seorang gadis kecil berlarian dari arah taman menuju dalam rumah. Rok merah bunganya terlihat bergoyang-goyang kecil diterpa angin. Boneka kelinci putih yang dipegang gadis kecil itu nampak rusuh, terkena tanah basah seusai hujan.

Dengan wajah yang memerah menahan tangis, gadis itu terus berlari sembari meneriaki papanya dari dalam rumah. Beberapa kali hampir tersandung oleh batu, membuat kakinya putihnya menjadi semakin kotor. Langkah kakinya yang terlalu keras membuat beberapa air hujan yang menggenang di halaman terciprat ke roknya, membuat beberapa bercak noda tercetak di jelas disana.

“Papaa!!!!!!!” teriakan gadis itu semakin melengking, membuat seorang pria akhirnya keluar dari rumah dengan raut wajah khawatir. Dengan apron yang masih tertempel di tubuhnya, pria itu terkejut menatap putri kecilnya yang ingin menangis.

“Eh, kenapa sayang?” tanyanya penuh kekhawatiran.

Diangkatnya tubuh kecil tersebut kemudian dipangkunya. Mata si gadis yang tadinya menahan tangis kini perlahan pecah. Gadis itu menangis begitu keras dihadapan sang papa. Membuat papanya semakin dibuat terkejut karenanya. Dengan lembut pria itu mengusap lembut surai hitam sang putri, “Gak papa, sst, anak papa gak boleh nangis lagi, ya.”

Sang putri masih sesenggukan, “Sakit, pa.”

Pria itu tersenyum tipis. Wajah tegas dan penuh wibawa itu menatap putri kecilnya dalam, “Sini papa obatin,” katanya kemudian menggendong putrinya masuk ke dalam rumah. Usai mengambil kotak P3K di kamar, pria itu menghampiri putrinya lagi. Pria itu mengeluarkan satu persatu isi yang ada di dalam kotak. Dan saat akan menuangkan obat merah ke arah kapas, putri kecilnya seketika berteriak yang membuat pria itu berjengit kaget.

“PAPA GAMAU PAKAI OBAT ITU! SAKIT!!” teriaknya histeris.

“Engga sayang, ini cuman perih sekilas, tapi nantinya engga.”

Gadis itu tetap menggeleng kukuh, “GAK MAU, PA! SAKIT!” teriaknya lagi kemudian berlari menuju kamar.

Pria itu menghela, dirinya mengalah. Tangannya menurunkan kapas dan obat merah yang tadi dia pegang. Putrinya itu sangat keras kepala, ceroboh juga. Jatuh bukan sekali dua kali, tetapi sangat sering. Kakinya bahkan banyak sekali bekas-bekas lecet karena jatuh.

Pria itu berdiri dan berjalan menuju dapur, kemudian ia melepas apron yang dipakainya dan membuat susu vanilla kesukaan sang putri. Setelahnya ia langsung menuju kamar putrinya tersebut. tanpa mengetuk pintu, pria itu langsung menggeser knop pintu dan masuk ke dalam. Dilihatnya putrinya yang tengah bergelung dalam selimut.

Diletakkannya gelas susu tersebut di meja, setelahnya pria itu duduk di ujung ranjang. Dibukanya pelan selimut yang menutupi tubuh putri kecilnya.

“Ganti pakaian dulu ya, sayang. Habis itu minum susu. Papa buatin susu hangat buat kamu,” mendengar apa yang dikatakan papanya barusan, gadis itu seketika bangkit. Dengan cepat dirinya mengambil baju di lemari kemudian langsung mengganti pakaiannya yang kotor. Kemudian tanpa pikir panjang gadis itu mengambil gelas susu yang ada di meja. Ditenggaknya susu tersebut sampai tandas. Membuat senyum kelegaan yang tercipta di bibir sang papa.

“Sini duduk dulu,” papa gadis kecil itu menepuk kasur di sebelahnya ia duduk, meminta sang putri untuk duduk disana. Gadis itu mengangguk dan menurut apa yang papanya perintahkan.

“Tadi habis jatuh, ya?”

“Iya.”

“Kok bisa jatuh, kenapa?”

Gadis itu mencebik, “Aku kesal sama teman-teman.”

“Kenapa? Kamu di dorong ya?”

“Bukan.”

“Lalu kenapa?”

“Mereka bilang aku gak punya mama, mereka bilang mamanya aku marah terus gak pulang-pulang. Aku marah, Pa. Terus aku lari dari mereka, tapi terpeleset terus jatuh,” gadis itu menunduk, menatap luka kecil yang tak begitu parah di lututnya bekas jatuh tadi. Bibir gadis itu mencebik kesal, “Padahal kata papa, kan, mama lagi ada urusan. Mama kan lagi pergi karena ada hal penting bukannya mama marah terus engga pulang. Bener kan, ya, Pa?”

Mendengar pertanyaan itu, pria itu terdiam. Bibirnya kelu tak bisa berkata apapun. Putrinya ini cerdas, kritis, namun juga mudah marah. Pria itu akhirnya menghela, kemudian mengelus luka di lutut putrinya, “Ini diobati dulu ya? Kalau gak mau papa usap deh pakai air,” gadis itu menoleh, saat akan menggeleng pria itu langsung melanjutkan perkataannya, “Nanti papa hadiahi ice cream.”

Tanpa berpikir panjang, gadis itu langsung mengangguk antusias.

”Beli empat ya, Pa?”

“Iya.”

Gadis itu tersenyum lebar, senyum yang sama yang membuat pria itu membeku. Seolah sosok yang sudah lama pergi itu kini hadir kembali dalam sosok kecil putrinya ini. Pria itu hanya bisa tersenyum kecut, terkadang menatap senyum lebar sang putri membuatnya jadi teringat semua kenangan indah yang pernah dialaminya dulu. Diusapnya pelan rambut sang putri sebelum akhirnya dikecupnya pelan seluruh pipinya yang membuat senyum lebar putri kecilnya itu kembali keluar.

About Us || Arlan SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang