Aku Menyadari Sesuatu

425 10 0
                                    

Hari berjalan seperti biasanya dan aku menjalankan hari-hariku seperti biasanya. Tapi bedanya, kali ini Andrew akan menjadi temanku di sekolah selain, Cara. Apa perbedaan merubah sesuatu? Entahlah. Dulu aku hanya bisa mengaguminya dari jauh, namun sekarang secara perlahan Tuhan mendekatkanku padanya. Rencana Tuhan adalah rencana terindah.

Suatu hari, ketika aku mendengar cerita dari Cara bahwa Alexa mulai menyukai Andrew. Aku sempat tertawa ketika mendengarnya.

"Kenapa Cel?" kata Cara heran melihatku.

"Aneh aja, Ra. Seorang Alexa yang gengsi bisa suka pada Andrew," kata Celia.

"Celia? Sepertinya ada yang salah denganmu ya? Hello! Andrew sekarang menjadi saingan Nico di sekolah. Dan kamu tau siapa Nico? Kenapa sih gak sadar-sadar? Atau kamu belum bisa move on dari Kevin?" kata Celia.

Ketika aku mendengar nama Kevin, mendadak mood berubah tidak bagus. Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya. Aku melihatnya bersama dengan cewek lain, yang tak lain mungkin adalah pacar barunya.

"Kenapa Cel?" tanya Cara padaku.

Aku pun menceritakan apa yang aku lihat pada Cara. Lalu Cara malah tertawa mendengarnya. "Jadi kamu benar nih gak bisa move on dari Kevin?" ucapnya.

"Cara! Aku cuma kesal aja gitu. Sejak kita putus, dengan cepatnya dia bisa cari penggantiku, sedangkan aku masih jomblo. Ya gak fair aja gitu. Itu sebabnya aku ikut ke acara kamu itu," kataku.

"Celia...Celia..Celia. Terkadang kamu suka aneh sendiri, tapi terkadang kamu bisa jadi orang bijak, bisa jadi orang jutek. Iya iya tau kok," kata Cara.

Perbincangan kita berakhir ketika Cara dijemput oleh kakaknya. Aku pun menyendiri di cafe. Sebenarnya aku berencana untuk bertemu Niki. Sayangnya hari ini, dia sedang mengikuti ekstrakulikuler di sekolahnya. Namun setelah beberapa menit berdiam sendiri di restaurant ini, aku menerima sebuah pesan dari Niki bahwa dirinya sudah selesai. Akhirnya aku menghampirinya.

Seharusnya aku pergi menemuinya dengan mobil, hanya gara-gara Mommy menabrakkan mobilku. Jadi aku harus pergi dengan taksi. Butuh sekitar 30 menit untuk bisa sampai di sekolah Niki.

Sudah lama sekaki aku tidak menemuinya, sejak acara itu aku sudah tidak pernah lagi kesini. Memasuki gerbang sekolahnya, beberapa orang yang aku kenal menyapaku. Dari kejauhan aku melihat tawa canda Niki. Aku selalu senang jika aku berada di dekat Niki. Karena itu mungkin, persahabatan kita awet. Aku pun menghampirinya.

Niki memelukku. Aku merasa bahwa Niki ingin sekali bertemu hanya saja kesibukan kita menghalangi pertemuan itu.

"Cel, kok tumben naik taksi?" tanya Niki.

"Biasa si Mommy, mobilku yang dibawa Mommy nabrak, ya di bengkel sekarang. Eh anyway, kok kamu malah tanya hal begituan sih. Harusnya gimana kabar aku," kataku.

Niki tersenyum lalu memegang pundakku yang terlihat lebih tinggi darinya. "Kamu masih belum berubah ya," kata Niki.

"Aku tidak akan pernah berubah. Karena aku akan tetap menjadi aku, Celia yang....." ucapanku lalu disambung oleh Niki.

"Selalu happy kan? Whatever your condition," kata Niki.

Kami pun berbincang sedikit lama ditepi lapangan basket. Kami duduk di kursi kayu tepat di pinggir lapangan itu. Sedikit miris sih melihat anak-anak main basket sementara aku dan Niki duduk dipinggirnya. Aku mulai tidak tenang ketika melihat mereka bermain begitu gesit dan cepat, takutnya bola itu menyerang kita berdua.

"Nik, kamu gak takut bola itu mengenai kita?" kataku dengan perasaan khawatir.

"Mereka itu professional, Cel. Tenang aja, lagipula tempat ini enak sekali. Lihat angin sepoi menyentuh rambut kita," kata Niki dengan percaya diri.

"Ya gak gitu juga, Nik. Tapi gimana kalau-kalau bola itu,....." ucapanku sedikit terputus gara-gara seseorang berteriak.

"Awas bolanya!".

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang ketika melihat bola itu mengarah padaku. Namun kali ini keberuntungan sedang memihakku. Seseorang cepat tanggap hingga bola itu mengenai bahu lengannya. Aku memejamkan mata karena benar-benar takut melihat bola itu mengarah padaku.

"Andrew?" ucapku heran melihat dia tiba-tiba didepanku.

Aku panik melihat dia memegang lengannya, segera aku berdiri dan bertanya keadaannya. Aku takut, melihat seseorang terluka gara-gara aku.

"Kamu gak apa-apa? Mana yang sakit?" kataku. Aku menyuruhnya duduk. Dia tidak menjawab Pertanyaanku, dia terus memegang bahunya.

"Andrew jawab aku, kamu gak apa-apa kan?" kataku lagi.

Kemudian, senyum dari mulut kecilnya itu melebar. Dia tersenyum menatap aku yang khawatir padanya. Lalu dia berkata, "aku baik-baik aja kok. Cowok harus kuat dong," kata Andrew padaku. Aku bisa bernapas lega kali ini karena dia baik-baik saja.

Lalu tampak dari arah belakang seseorang memegang pundakku. Dia mengatakan sesuatu, "sorry soal tadi. Apa tadi bola itu mengenaimu?" ucap orang itu. Aku pun berbalik arah menghadapnya. Dia jauh terlihat lebih tinggi dariku. Sosok lelaki yang memiliki alis tebal dan mata sedikit mengganggu pikiranku.

"Apa tadi kamu bilang?" balas ku.
"Maaf?" ucapku lagi lalu mendesis.

Orang itu terlihat sedang memperhatikanku, karena dia belum menjawab ucapanku.

"Aku rasa kamu bukan pemain profesional seperti yang Nikki katakan barusan. Dan ingat satu hal bahwa aku tidak akan pernah melupakan kejadian ini," kataku.

Setelah aku mengucapkan hal seperti itu. Dia tersadar. Matanya mulai sadar bahwa aku telah mengucapkan hal yang tak pantas untuknya. Butuh sedikit waktu untuk dia membalas ucapanku tadi dan kata-katanya sedikit membuatku aneh.

"Karena aku juga tidak akan pernah melupakan kejadian itu," kata nya lalu menatap ke arah lenganku.

"Apa?" ucapku sedikit kaget.

Dia pun pergi dan aku hendak ingin menyusulnya namun Nikki dan Andrew melarangku. "Cukup, Cel!" kata Nikki padaku.

"Dia ibaratkan seorang arti di sekolah ini. Dia terkenal, namanya Billy, bahkan namanya benar-benar dikenal oleh murid-murid sekolah lain. Aku rasa kamu jangan cari masalah dengannya, itu akan menyulitkan mu," kata Nikki.

"Ya. Billy pindahan. Katanya dia sudah berkali-kali pindah, hingga akhirnya dia menetap disini lagi. Karena memang disini adalah tempat dimana dia dibesarkan sejak dia lahir hingga sebelum SD," kata Nikki.

"Apa?" kata ku.

Mengejutkan mendengarkan ucapan Nikki barusan. Ingatanku mulai sedikit menggores ingatan masa kecilku. Jika aku melihat mata dan alisnya. Aku seperti mengingatkannya pada seseorang. Seorang lelaki dan teman kecilku, Theo. Alis dan matanya membuatku sangat mengenal Theo. Dia adalah cowok paling tampan diantara teman sepermainanku.

"Theo?? Lalu tadi dia bilang kalau dia tidak akan mungkin lupa dengan kejadian dulu. Apa mungkin Billy itu Theo? Dan apa mungkin tadi dia mengenaliku dari luka di tanganku? Tidak!! Ini tidak mungkin! Jika dia benar Theo, Tuhan, apa yang terjadi denganku selanjutnya," kataku.

Remember When....Where stories live. Discover now