Kebohonganku Mengawali Segalanya

234 7 0
                                    

Suatu hari, ada pertandingan persahabatan basket antar sekolah. Tentu saja sekolahku versus sekolah Theo. Aku gugup karena pasti teman-temanku akan melihat kearahku karena saat ini Theo adalah pacarku. "Celia kamu harus cepat-cepat sembunyi. Kabarnya, cewek-cewek dari sekolah Theo akan menemuimu dan dia akan menjambak rambutmu," kata Cara tiba-tiba datang dengan napas yang masih tidak beraturan. "Apa?" sahutku. Aku memikirkan nasib rambutku. Aku ketakutan dan sebentar lagi pertandingan itu akan segera dimulai. Aku harus menyaksikan karena Theo ingin sekali aku melihatnya.

Aku diam-diam menyaksikan pertandingan itu. Tim sekolahku ternyata bermain sedikit kasar hingga beberapa kalo Theo jatuh dengan disengaja. Theo mungkin heran mengapa aku tidak menghampirinya. Jelas sekali aku takut dengan keadaan ini. Sesi kedua berlanjut. Aku masih terus menyaksikan pertandingan itu. Tiba-tiba seseorang mendekap mulutku. Aku kaget sekali. Dia membawaku ke tempat yang sepi.

"Andrew?" kataku.

"Kam..kamu..apa-apaan? Bagaimana kalau orang ta...," dia langsung menyuruhku untuk diam. "Dengarkan itu," ucapnya.

Aku mendengar beberapa suara cewek ingin sekali menemuiku dan ingin mengata-ngataiku. Aku lalu mengingat kata-kata Cara tadi. "Ah tidak!" gumamku.

"Aku harus cepat-cepat kabur," kataku pada Andrew. Aku yang hendak berdiri tiba-tiba Andrew menyuruhku untuk duduk kembali. Kami berada di ruang kelas yang tidak ditempati dan memang selalu tertutup.

Aku dan Andrew pun disana hingga pertandingan itu selesai. "Aku rasa pertandingan telah selesai dan aku harus keluar," kataku lalu hendak berdiri. Lagi-lagi Andrew menahan tanganku. "Andrew please lepaskan. Aku bisa mengatasi hal itu," kataku mencoba meyakinkannya. Perlahan dia mulai melepaskannya. Ketika aku membuka pintu Theo tepat berdiri didepanku bersama timnya.

"Theo?" kataku. Aku keceplosan memanggilnya Theo. Dia menoleh dan beberapa teman-temannya juga menoleh. Saat ini semua mata seolah tertuju padaku.

"Darimana saja kamu? Mengapa kamu tadi menghilang?" tanya Theo.

"Oh aku tadi..tadi aku...," aku kebingungan harus menjawab apa karena tidak mungkin aku memberitahukan kalau aku bersama Andrew.

"Jawab Celia!!" teriak Theo. Dia terlihat marah. Aku kaget mendengar suaranya hingga aku takut akan menjawabnya. Sebelumnya dia tidak pernah semarah itu. Semua orang melihat ke arah ku. Gadis-gadis yang membenciku tadi juga sedang mendengarku.

"Celia katakan darimana saja kamu tadi!!" kata Theo sekali lagi. Dia berkata dengan keras sekali lagi. Semua orang terdiam. Saat ini Cara, Nikki serta Jason juga sedang melihatku. Aku merasa benar-benar malu. Aku seolah kembali pada masa kecilku dulu saat aku dipermalukan oleh Theo. Aku mulai mengeluarkan air mata, aku berusaha untuk menahannya, tapi benar-benar tidak bisa. Aku menjatuhkannya dan Theo melihatnya.

"Aku bahkan tidak menyuruhmu menangis. Sekarang cepat jawab, dimana dirimu disaat aku membutuhkanmu. Apa kamu tidak lihat aku luka dengan ulah teman-temanmu? Atau kamu sudah tidak peduli denganku?" kata Theo.

Kata-kata Theo benar-benar membuatku tertekan dan merasa malu. Aku melihat Nikki ingin sekali membantuku namun Jason melarangnya. Aku tidak tahan dengan keadaan ini. Akhirnya aku menjawab. "Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu! Apa kamu puas?" kataku menatap matanya.

Theo mungkin merasa malu karena aku tidak menjawab pertanyaannya. Dia geram karena aku bisa melihat itu dari matanya.

"Okay! Sekarang jangan hubungi aku lagi sebelum kamu menyadari kesalahanmu dimana!!" kata Theo lalu pergi.

Aku menghela napas panjang ku. Nikki dan Cara segera menghampiriku. Dia mengelus lenganku. "Sudahlah, Cel. Jangan pikirkan kata-katanya lagi," kata Nikki. Cara ikut mendukung ucapan Nikki. "Iya Cel. Cowok memang tidak pernah mengerti perasaan wanita," katanya.

Seketika hujan mendadak turun. Aku tidak bisa pulang karena hujan turun deras sekali. Aku hanya duduk di kelas hingga menunggu hujan reda. Aku ditunggu oleh Cara yang setia padaku. Ketika semua pulang, aku melihat tas Andrew yang masih dibangkunya. "Apa dia masih di kelas itu?" gumamku. Mataku bengkak karena menangis. "Cara tunggu sini, aku ingin kamu tetap menjaga tasku," kataku lalu pergi menuju ke kelas tadi. Aku membuka kelas itu, tetapi aku tidak melihat sosok Andrew di tempat aku duduk tadi. "Dia kemana?" gumamku. Lalu aku bertanya kepada petugas. Namun jawaban mereka hanya menggelengkan kepala dan mengatakan bahwa kelas itu tidak ada seorang pun yang masuk. Aku heran. Aku kembali ke kelas lagi dengan rasa kebingunganku.

Hingga hujan berhenti pun dia tak kunjung datang. Aku khawatir. Lalu aku meminta supirku untuk menjemputku. Cara telah pulang beberapa menit yang lalu. Ketika aku dijemput, aku bingung bagaimana dengan Andrew. Akhirnya aku membawa tasnya dan mengatakan kepada penjaga sekolah. "Jika Andrew kembali untuk meminta tasnya. Katakan padanya bahwa tasnya dibawa oleh Celia," kataku lalu pulang.

Sesampainya di rumah. Aku buru-buru menutup gorden ku dan mandi. Aku menaruh tas Andrew di kasur. Seusai mandi aku tiduran di tempat tidur dan mencoba untuk memejamkan mataku. Mengingat semua kata-kata Theo padaku tadi. Tak terasa aku menangis lagi. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa dia mengulang kejadian itu lagi hingga aku benar-benar malu. Aku kesal padanya dan aku berjanji aku tidak akan meminta maaf padanya.

Bi Inem masuk ke kamar dan mengatakan bahwa Andrew meminta tasnya. Aku enggan menyahut ucapan Bi Inem hingga dia menepuk lenganku. "Non, ada temannya non Celia dibawah. Katanya dia meminta tasnya,". Aku memberikan tas itu pada Bi Inem karena aku tidak ingin menemui siapapun saat ini. Ketika Bi Inem menuju pintu aku berkata padanya, "katakan padanya bahwa jangan sekali-kali membiarkan tasnya ditinggal," kataku tak sadar bahwa Bi Inem pergi. "Dan katakan padanya, kemana saja dia?....ashhh, Bi Inem kebiasaan deh pergi tanpa suara," kataku lalu berbalik lagi.

Malam berlalu hari-hariku akan segera berubah. Aku takut apa yang akan terjadi setelah kemarin. Aku masuk seperti biasa. Lalu seusia sekolah. Nikki mengajakku untuk menemuinya. "Okay di tempat biasa," ucapku. Aku pun pergi menuju tempat dimana biasanya kita bertemu dengan seragam sekolah yang masih aku kenakan.

Sesampainya disana. Nikki duduk dengan cukup serius yang sedang memandang handphonenya. Aku duduk dan menanyakan apa yang membawanya kemari untuk menemuiku.

Satu pertanyaan Nikki barusan bisa membuatku menjawab lebih dari satu. Itu mungkin yang ingin Nikki dengar.

Remember When....Where stories live. Discover now