1. MA || Sebuah Payung Lepas

136 18 21
                                    

Hujan deras membasahi sepanjang jalan Distrik Huangpu atau biasa disebut dengan The Bund ShanghaiThe Bund atau Waitan adalah sebuah kawasan perairan di tengah Kota Shanghai. Kawasan tersebut terpusat di bagian Jalan Zhongshan (East-1 Zhongshan Road) di bekas Shanghai International Settlement, yang membentang di sepanjang tepi barat Sungai Huangpu di bagian timur Distrik Huangpu.

Pemandangan menakjubkan itu dinikmati oleh salah satu perempuan mungil yang duduk tepat menghadap ke arah jendela kafe. Kali ini hujan yang mengguyur kota Shanghai tak menjadi penghalang dirinya untuk keluar rumah. Karena sudah hampir seharian penuh ia duduk dan tak beranjak, meskipun sempat beberapa kali pergi ke toilet.

Parveen Qasrina Tsabitah. Begitulah nama indah yang tertulis di kertas kosong berwarna putih polos. Rentetan kalimat panjang yang tersusun rapi kembali ia baca, memastikan agar susunan kata dan kalimat pas. Dirinya tidak boleh melakukan kesalahan apa pun, karena hidup dan matinya tergantung pada lamaran yang ia tulis barusan.

Gadis kecil bersurai hitam panjang itu terus menerus menatap Parveen dengan bola mata yang sesekali mengerjap lucu. Bibirnya tersungging manis. Gaun kecil yang membaluti tubuh mungil itu nampak pas dan sangat indah dengan flat shoes putih yang membaluti kaki kecilnya.

"Kakak, udah selesai?"

Lagi-lagi pertanyaan itu mengusik Parveen yang tengah membaca kalimatnya dengan teliti. Alis tebal hitam legam itu bertaut bingung saat mendapati ada sebuah kalimat janggal. Namun, ia tidak mempermasalahkan itu semua, sebab makna dan susunannya masih sangat rapi.

Parveen menoleh pada adiknya dan tersenyum manis. "Udah. Kamu mau pulang?"

"Erina mau pulang, Kak." Kaki mungil Erina berayun pelan pada bangku yang jauh lebih tinggi darinya.

"Ayo, bantu Kakak bereskan ini. Nanti kita mampir di toko roti Nenek Sun," ujar Parveen sambil merapikan beberapa buku dan mematikan laptop yang ada di atas meja. Matanya tak lepas dari Erina yang berusaha membereskan buku-bukunya.

Gadis kecil itu memang teramat mandiri hingga Parveen merasa bahwa Erina bukanlah anak yang berusia lima tahun. Karena semenjak dirinya menjadi transmigran di negeri tirai bambu, Erina memang lebih mandiri dan tidak menyusahkan dirinya. Apalagi ia harus segera mencari pekerjaan sebelum dirinya dan Erina mati kelapan akibat uang tabungan yang mulai menipis.

"Erina masukin tas ya, Kak." Tangan mungil itu terulur di atas meja hendak meraih tote bag berwarna hitam polos.

Parveen pun tak tinggal diam. Ia pun mengambilkan tote bag tersebut, lalu memberikannya pada Erina. Gadis kecil itu tersenyum riang dan mulai memasukkan satu per satu buku dengan bersenandung khas anak kecil.

Mata Parveen menatap keadaan luar yang gerimis kecil. Lalu, arah matanya mengarah pada salah satu tempat payung yang selalu tersedia pintu café. Di sana hanya ada satu payung dan artinya ia harus cepat pergi dari cafe ini sebelum gerimis semakin deras.

Melihat keadaan yang tak kunjung reda, Parveen pun akhirnya memutuskan untuk menggendong Erina daripada harus menunggu lebih lama lagi. Sejujurnya Parveen merasa kasihan pada adiknya yang masih sangat kecil, tetapi sudah ia ajak susah seperti ini. Hati Parveen sedikit tak rela menatap wajah polos adiknya yang tersenyum lebar sambil memandangi bulir-bulir air yang terjatuh di luar kaca jendela.

"Kak, ayo!" ajak Erina sambil menuruni bangku yang tentunya dibantu oleh Parveen.

Langkah kecilnya melompat-lompat riang sambil sesekali tersenyum pada Parveen. Gadis sekecil Erina sangatlah tidak mudah hidup di negara mahal seperti ini. Akan tetapi, Parveen yakin bahwa Erina bukanlah adik yang menyebalkan seperti yang ia tahu. Karena Erina tidak akan pernah menyusahkannya.

My AnswerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang