Dalam langkah kecilnya menyusuri trotoar di Shanghai Railway Museum, Parveen beberapa kali menghela napas pelan. Setelah keluar dari subway, Parveen mengajak Erina untuk melangkah, karena kebetulan sekali di sekitar rumahnya gerimis mulai mereda. Hanya rintikan yang tak kasatmata.
Dengan langkah ringan, Erina menaiki satu per satu tangga. Karena hari ini kebetulan hujan, dan pihak keamanan lingkungan tidak akan menyalakan eskalator, sebab akan membahayakan keselamatan para pejalan kaki.
Suasana di museum nampak sepi. Sepertinya hanya beberapa pengunjung berwajah western yang lancar berbahasa Inggris. Karena negara Cina tidak berbeda jauh dengan Indonesia. Kebanyakan dari warganya yang kebetulan pasif Bahasa Inggris, hanya di Shanghai-lah para turis bisa berbicara dengan leluasa.
Sebab, jangan harap ada yang mengerti bahasa Inggris selain di Shanghai. Di luar Shanghai memang kebanyakan memakai bahasa tubuh. Jadi, sangat diperlukan belajar bahasa tubuh agar orang-orang mengerti maksud dari perkataannya. Namun, akan lebih baik jika bisa berbicara Mandarin atau berbahasa Cina lainnya.
"Kak, kita jadi ke toko roti, 'kan?" tanya Erina mendongak, menatap wajah Parveen yang terlihat mengamati sekitar.
Parveen tersenyum sambil menatap adiknya. Sejurus kemudian, ia membungkukkan diri dan mensejajarkan tingginya dengan tinggi Erina yang hanya sebatas pinggulnya saja.
"Iya. Tapi, kita jalan-jalan sebentar. Kakak mau beli sesuatu di sekitar sini," jawab Parveen menangkup wajah mungil Erina.
Erina mengangguk ceria, lalu tersenyum lebar menatap kakaknya.
Batin Parveen berteriak. Tidak seharusnya ia membawa Erina dalam kesengsaraan ini. Padahal adiknya ini bisa saja mengikuti salah satu tantenya agar hidup lebih terjamin. Tetapi, membujuk seorang gadis kecil bernama Erina Zakiyah bukanlah perkara mudah. Butuh berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan untuk meyakinkannya.
Dan Parveen tidak tahan kalau harus menunggu selama itu. karena walau bagaimanapun juga, ia harus bertahan hidup tanpa kedua orangtuanya.
Saking asyiknya melamunkan diri tanpa sadar ada seseorang yang menabrak Parveen sedikit keras. Lamunannya buyar seiring sebuah teriakan terdengar begitu jelas.
"Oh, my God! There are pickpockets. Please help me!!!" teriak seorang paruh baya itu dengan suara bergetar.
Namun, suasana Shanghai Railway Museum yang sepi tidak ada orang. Hanya ada Parveen dan Erina yang kebetulan menyaksikan pencopetan terjadi. Padahal biasanya di sini ada polisi yang berjaga.
Parveen yang melihat pencopet itu tepat menabrak dirinya pun dengan sigap menendang punggung laki-laki itu, ia merasa bersalah saat mendengar salah satu tulang yang terkena tendangannya bergeser hingga menimbulkan suara nyaring sekaligus nyeri.
Cekalan di lengan Erina pun terlepas, membuat gadis itu memundurkan langkahnya takut. Erina tentu saja terkejut akibat perkelahian Parveen dan sang pencopet itu. Apalagi di punggung Parveen ada sebuah tas yang berisikan laptop, satu-satunya barang berharga.
"Hati-hati, Kak." Erina meneteskan air mata ketakutan.
Sementara Parveen tengah berjuang melawan sang pencopet itu. Bisa dikatakan kekuatan memang tidak cukup besar melawan sang pencopet, tetapi ia mempunyai keterampilan yang cukup memumpuni di karate, sehingga dapat dengan mudah membanting pencopet itu dengan sekali tarikkan.
Napas pencopet itu tak bertaturan seiring dengan tulangnya yang terasa ingin patah. Matanya tak lepas memandangi wajah Parveen yang terlihat sangat menyeramkan. Tangannya gemetar saat Parveen menghampiri dengan langkah dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Answer
RomanceSeorang transmigran asal Indonesia yang bernama Parveen Qasrina Tsabitah, harus dikejutkan oleh keuangannya yang cukup menipis untuk melanjutkan hidup di negeri orang. Bersama adiknya yang berusia lima tahun, Erina Zakiyah. Ia harus mati-matian menc...