4. MA || Bibi Scarlett

18 6 0
                                    

Gedung tingkat belasan lantai itu nampak melengkung dibagian puncaknya. Memanjakan setiap mata memandang. Corak-corak yang gemerlap begitu menakjubkan saat matahari tersenyum menyinarinya.

Siang ini Parveen menggunakan pakaian casual. Sebenarnya ia telah mengganti banyak pakaian, tetapi tidak ada yang cocok untuk pergi ke kantor. Semua pakaian perempuan berwajah imut itu tidak lain tidak bukan adalah kaus.

Dengan mengenakan kemeja flanel berwarna hitam-putih dan celana jeans putih serta sneakers putih, seorang Parveen Qasrina Tsabitah siap untuk melamar pekerjaan yang akan menyokong dirinya hidup di negara ini.

Parveen memasuki gedung tersebut dengan wajah ceria, menatap seluruh karyawan yang asyik bergurau di sekitar kantor. Double pintu itu terbuka otomatis membuat Parveen lagi-lagi berdecak kagum.

Bagaimana bisa ia akan bekerja di kantor semewah ini? Hal yang tak pernah Parveen bayangkan sebelumnya. Dirinya malah berpikiran bekerja di salah satu kantor ilegal, karena pada saat melihat situsnya kemarin, tidak ada satu pun informasi, selain alamat yang saat ini ia tuju.

Mata kecilnya mengitari setiap interior klasik yang terpampang di lobi. Beberapa anak tangga nampak melingkar cantik anggun, lukisan-lukisan kuno menghiasi seluruh dinding putih polos tersebut.

"Gila! Ini hotel apa kantor," decak Parveen dengan penuh kekaguman.

Tanpa sengaja matanya menangkap sebuah meja panjang yang terletak di samping evalator. Meja berisikan beberapa orang itu nampak berjejer rapi sambil menyibukkan diri dengan mengobrol sesuatu.

"Ni hao" sapa Parveen tersenyum kecil.

"Ni hao," balas salah satu resepsionis dengan wajah sedikit western.

"Saya ingin melamar pekerjaan. Apakah masih dibuka?" tanya Parveen sambil menyerahkan map berwarna cokelat.

"Kakak langsung saja ke lantai 17. Di sana nanti ada bos kita. Kakak langsung interview." Kali ini resepsionis dengan rambut bob yang menjawab pertanyaan dari Parveen sambil menyerahkan sebuah kertas kecil yang bertuliskan "Visitor".

Wajah keterkejutan Parveen terlihat jelas. Bagaimana bisa kantor sebesar dan semegah ini langsung interview tanpa melalui HRD seperti di perusahaan Indonesia kebanyakan.

Tanpa menunggu lama, Parveen mengangguk singkat dan melangkah ke arah evalator. Arah panah ke atas, ia tekan sekali, lalu menunggu tepat di depan pintu sambil sesekali menoleh ke arah resepsionis yang terus menatap dirinya tanpa ekspresi.

Tak lama kemudian, pintu evalator terbuka lebar, menampilkan sesosok lelaki gagah yang nampak asyik mendengarkan penjelasan perempuan anggun yang berkaki jenjang di sampingnya. Mata Parveen lagi-lagi berdecak kagum melihat betapa tampannya lelaki di kantor ini.

Namun, sebuah bahu menabrak punggung kecil Parveen, hingga sang empu sedikit terhuyun. Terjatuh mengenaskan di dalam kantor adalah yang tak pernah sama sekali Parveen Qasrina Tsabitah bayangkan selama hidupnya. Seceroboh apapun ia tidak akan pernah jatuh di tempat keramaian dengan semua mata memandang dirinya rendah.

Hingga sebuah uluran tangan membuat Parveen mematung seketika, ternyata tidak semua manusia di sini berhati batu. Telapak tangan hangat nan besar menyentuh telapak tangan kecil sekaligus kasar milik Parveen.

Perempuan itu belum sadar jika sudah menjadi bahan tontonan seisi kantor. Sebab, ia sibuk membereskan kertas-kertasnya yang bertebaran di lantai. Sementara lelaki di hadapannya hanya sibuk memperhatikan tanpa berniat membantunya lagi. sedangkan perempuan anggun nan cantik yang tadi sibuk berceloteh kini ikut memperhatikan Parveen.

Mata kecil milik Parveen melirik sekilas, ia tahu banyak pasang mata yang menatapnya terjelengar. Apalagi lelaki yang tadi membantunya kini berdiri tepat di belakangnya. Kalau saja dirinya datang ke sini bukan untuk mencari uang, mungkin sudah sejak tadi ia pergi tanpa harus mempermalukan dirinya sendiri.

My AnswerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang