••

7.5K 1.4K 572
                                    

Chanyeol Dewa Pradipta.

Gak banyak hal yang bisa gue dekripsikan tentang dia yang gue temui beberapa hari lalu saat orasi. Tubuh tinggi semampai, rambut hitam legam, rahang tegas dan tatapan mata yang tajam namun teduh. Penampilannya seperti anak STM kebanyakan, gak pakai dasi, rambut lumayan berantakan dengan bagian bawah seragam yang dibiarkan keluar.

Tapi satu hal yang pasti, dia anak yang cukup sopan.

Selebihnya gue gak tahu, lebih tepatnya belum tahu. Karena memang, pertemuan kita di pos keamanan sore itu adalah yang terakhir. Kita gak sempat untuk sekedar ngomong ataupun basa-basi, apalagi buat saling mengenal satu sama lain lebih dalam. Kita gak punya waktu banyak buat saling menatap.

Meskipun dia terluka, tapi dengan semangat membara dia kembali keluar tanpa mau dengerin apa omongan gue. Dia tetep kekeuh buat balik ke medan yang mereka anggap sebagai medan pertempuran. Dewa cuma ngasih senyum tengil saat itu, melambaikan tangan untuk terakhir kalinya ke gue sebelum kembali berjuang buat nolongin temen-temennya yang terdesak.

Dan setelah pertemuan kita waktu itu, jujur aja gue gak bisa lupa. Gue menolak untuk lupa. Gimana cara dia menatap gue, senyum tengilnya, tutur katanya bahkan gue masih inget dengan jelas permukaan telapak tangannya yang berada di pipi gue. Meskipun cuma sesaat, itu berhasil ngebuat gue gak bisa tidur semaleman.

Dewa...

Gue penasaran, kira-kira dia baik-baik aja atau nggak? Gimana lukanya? Gimana buku-bukunya yang basah?
Dan ... apa dia masih inget sama gue?

Pertanyaan-pertanyaan kayak gitu terus berputar-putar di otak gue siang dan malem. Gue penasaran setengah mati, pengen tahu keadaannya dan kepengen tahu lebih dalam tentang dia. Gue beberapa kali mencoba buat nyari akun sosmednya, mencoba nyari peruntungan siapa tahu gue bisa kenalan lebih dekat. Tapi, kayaknya gak semudah itu.

Dan hari ini, gue dateng lagi.

Tepat tanggal 30 September di sore harinya, gue beserta temen-temen dari kampus berbondong-bondong buat datengin gedung para elit yang bakal kita jadiin tempat buat menyuarakan aspirasi. Untuk kedua kalinya, kita bakal memperjuangkan masa depan bangsa Indonesia dari para elit yang hanya mementingkan diri sendiri daripada rakyatnya, berharap kalau kali ini apa yang kita lantangkan bisa mereka dengar dengan baik tanpa harus baku hantam.

"Yudha! Lo nungguin siapa sih? Sini gabung!"

Di samping gue yang memang sejak awal kepengen dateng lagi buat menyuarakan aspirasi bareng mahasiswa yang lain, gue juga berharap bisa ketemu lagi sama tuh anak STM. Seperti yang gue liat di sosial media, banyak elemen masyarakat yang mungkin bakalan dateng dan bergabung sama kita di sini. 

Gue gak tahu, ini beneran atau cuma hoax belaka. Tapi yang jelas, gue cuma berharap banget bisa bertemu lagi sama Dewa. Setidaknya gue pengen nanya, apa luka di kepala dan pipinya udah sembuh atau belum.

"Assalamualaikum... Walaikumsalam! STM Datang... bawa pasukaaan!"

Denger suara anak-anak yang mulai berkerumun dan denger suara-suara teriakan lantang khas anak-anak putih abu-abu ngebuat semua orang mulai noleh dan bersiap dengan hp di tangan masing-masing. Anak-anak STM datang, yang orang bilang adalah ras terkuat. Langkah kaki yang berbondong-bondong dateng itu ngebuat senyum gue entah kenapa semakin terkembang lebar dengan sendirinya. Harapan gue berasa semakin besar.

Gue pengen ketemu Dewa.

Sekitar jam 3 an, mereka beneran datang dengan teriakan khas mereka yang juga disambut dengan tepuk tangan meriah dari orang-orang. Entah itu mahasiswa ataupun masyarakat yang menonton. Yel-yel mereka memang unik, enak didenger. Yang kemudian banyak diikuti juga sama para Mahasiswa yang lainnya ketika datang.

BERSATU •CHANBAEK• (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang