Kisah 3: TURUN KE LEMBAH HATI

175 11 21
                                    

Setelah Netra Nyala Nyawa memasuki Lorong Rumah Batu di Puncak Bukit Batu Hitam. Ia segera bertepuk tangan 1 kali gema panjang, 7 kali nyaring tinggi, ia memutar kekiri bola energi tak tampak di salah satu dinding batu sehingga terdengar bunyi gemuruh dinding itu tergeser ke samping kiri. Terbukalah sebuah hamparan ruang bersih, harum, terang, sejuk, luas, bagaikan ruang latihan penempaan gerak kanuragan dan penebalan kedigdayaan olah tata energi gelombang jala jiwa gaib secara pribadi.

Jantra Jala Jiwa tersenyum melihat Netra sedang gesit mengatur ulang kode-kode pintu pengaman dan mulai menggerakkan alat-alat rahasia sebagai pengaman dan pelindung rahasia Rumah Batu Bukit Batu Hitam.

Jantra dapat merasakan banyak aura senjata pusaka di balik setiap dinding batu. Tiba-tiba ia melihat sebuah kitab lusuh warna kuning kecoklatan di atas meja batu merah maron. Aura Jala Jiwa Gaibnya tergetar. Ia merasakan bahwa buku itu merupakan salah satu Jejak Peta Wajah Suara Asal-Usul Dirinya. Karena ia bisa merasakan aura isi buku itu bagaikan Mantra Cakra Jiwa yang satu Segelombang Pancar dengan Degup Redup Naluri Hatinya.

Saat yang bersamaan Netra Nyala Nyawa sudah selesai membawa kebutuhannya dalam kantong punggung dari kulit tipis coklat tua, dan di pinggangnya terikat tiga kantung kecil warna hitam, hijau, kuning, dan sebuah pisau bulan sabit kecil berantai. Saat ia keluar dari ruangan dan pintu batunya gemuruh menutup sendiri, saat itulah mata Netra menangkap arah pandang mata Jantra.

"Oh, Kak Jantra tertarik Kitab di Atas Meja Batu Merah Maron itu?

"Itu hadiah Guruku, saat aku berumur 12 tahun. Tadinya aku kira buku dongeng, atau kitab kedigdayaan energi batin, atau kitab jurus pedang dan jurus hasta hampa. Tidak tahunya, hanya catatan Guru dengan gaya puisi, tentang banyak hal yang ditelaah Guru, baik sebagai gaung relung renung, ataupun sekedar catatan gagasan saja.

"Aku pusing membacanya. Banyak simbol, banyak pengertian yang tidak kumengerti.

"Tapi kalau Kak Jantra tertarik membacanya, tentu aku pinjamkan.

"Tidak aku berikan loh...karena Kitab itu hadiah Guru Untukku. Sekaligus tanda ikatan batinku dengan Guru."

Netra sangat gembira. Banyak cerita. Banyak Senyum.

Sambil berjalan ke arah meja batu merah maron, ia masih riang cerita. Lalu mengambil Kitab yang menjadi perhatian Jantra, dan menyerahkannya kepada Jantra.

Sambil memberi isyarat, agar mereka berdua secepatnya bergegas keluar. Karena sebentar lagi semua perangkap rahasia bergerak, semua pintu tertutup. Bahkan akan berhembus hawa racun dari setiap lubang kecil yang bagaikan hawa hantu menjaga setiap ruang rumah batu. Jika ada celah yang bisa dimasuki serangga, niscaya mati seketika. Apalagi bila itu upaya manusia memasuki, terpapar racun ganas seketika mati.

Benar saja. Ketika Jantra dan Netra barusan menginjak tangga batu pertama untuk turun, sudah berdentaman dan bergumuruh seluruh Rumah Batu, pertanda sudah terkunci secara rahasia. Dan Jantra mendengar desis dalam Rumah Batu, ia pun tahu itu bunyi hembusan racun ganas dari lubang rahasia.

Jantra melihat Netra sedang membungkuk ke Rumah Batu dengan mata berkaca-kaca.

Sabelum Jantra memasukkan Kitab Kuning Coklat itu ke dalam Kantung Bajunya, ia baca tulisan di sampulnya: Turun Ke Lembah Hati.

Sekejab hatinya berdegup kencang, buram-buram ingatan, Jantra merasa teringat dan akrab  dengan istilah Lembah Hati.

Ya, itu bukan sekedar simbol makna tulisan, namun memang ada nama tempat, Lembah Hati.

Yak betul, bahkan ada Istana megah mewah indah di dalam Lembah Hati.

Namanya, namanya, ya ya sama, eh mirip. Istana Bunga Lembah Hati. Ya betul. Istana Bunga Lembah Hati.

JANTRA JALA JIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang