Kisah 4: BUNKER BONGKAR-BANGKIR

133 11 0
                                    

Setelah lima daging manusia itu hancur berhamburan di udara, terdapat juga benda yang muncrat ke udara, dan ada satu logam tipis biru gelap jatuh di dekat kaki Jantra Jala Jiwa.

Ia arahkan telapak tangan kirinya ke logam pipih segi tiga sama sisi, terhisap meluncur naik ke telapak tangannya dan tergenggam.

Jantra mengamati benda itu. Netra mendatanginya dan ingin tahu juga.

Begitu Netra melihat logam itu, wajahnya tegang penuh kecemasan, katanya "Ini, ini, Lencana Lasykar Utama Suku Bumi. Dan Bila Warnanya Biru Gelap adalah Tingkatan Duta Pembantai."

"Mengapa Dik Netra bisa tahu?"

"Guruku menyimpan satu, lencana seperti itu. Warnanya emas.."

"Kalau Lencana Emas, level apa?"

"Itu Tingkatan Pujangga Digdaya dari Suku Bumi yang masih kerabat dekat Raja Suku Bumi.."

"Apakah Gurumu Ningrat Suku Bumi dan Pujangga Digdaya?"

"Bukan! Guruku hanya memperoleh titipan barang dan pesan dari sahabatnya yang Pujangga Digdaya Suku Bumi, ketika ia terluka parah. Diberikan saat menjelang ajalnya."

"Aneh, lalu apa hubungannya: Gurumu, benda dan pesan titipan, serta tugas pembantaian yang ditujukan ke kita barusan?

"Apakah mereka mau merampas barang dan pesan titipan tersebut, yang diperkirakan kita bawa atau kita tahu di mana disimpan? Karena kita diketahui oleh mereka, bahwa kita barusan turun dari Bukit Batu Hitam?

"Bisa jadi perginya atau hilangnya Gurumu ada kaitannya dengan Suatu Rahasia Besar di Suku Bumi itu..

"Eh, jangan-jangan lenyapnya ketiga guruku, juga ada hubungan dengan Suku Bumi, Gurumu, Barang dan Pesan titipan? Hmm...

"Barang Titipan itu wujudnya apa, dan pesannya apa, ditujukan kepada siapa?

"Apakah Dik Netra tahu barang titipan dan pesan, serta lencana emas itu.. sekarang ada di mana?"

"Tidak tahu, Kak Jantra."

"Sstt..Sebentar. Dik Netra dengar tidak? Suara gemuruh apa itu?"

"Suara apa? Arah mana?

"Oh itu jauh di hujung padang rumput? Iya itu kepulan debu membubung tinggi..

"Ih debu apakah itu?

"Suaranya masih kutangkap sayup-sayup sampai mirip.. mirip.. ya mirip ratusan derap kaki kuda.

"Benarkah itu rombongan kuda melaju ke kita, Kak Jantra?"

"Iya. Bahkan nampak ratusan ekor kuda. Dari kekuatan hentakannya yang tajam kuat buas, ini pertanda Kuda Liar Yang Gila. Kuda murka ganas yang mengamuk. Tapi tak mungkin serentak rombongan begitu. Pasti ada penyebabnya yang membuat mereka gila serentak. Atau ada seseorang pengendali Naluri Liarnya."

"Lalu? Apakah aku musnahkan saja dengan Ilmu Pedang Jantra Netra, sekaligus untuk latihan menyempurnakan ilmu pedangku, Kak Jantra?"

"Jangan! Tidak setiap Sumber Bahaya kita Lenyapkan! Kalau mampu kita tundukkan ya tundukkan saja!

"Perjalanan kita masih panjang. Kita bisa jinakkan dua ekor kuda tertangguh untuk kita pakai melanjutkan perjalanan kita.."

"Baiklah, Kak Jantra!"

"Ya. Dik Netra, siaga dan waspada saja. Siap hadapi segala kemungkinan dan perubahan yang bakal terjadi!

"Tunggu di sini! Aku akan coba atasi serbuan rombongan kuda gila ini.."

JANTRA JALA JIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang