Kisah 10: GAUNG RAUNG GERUNG

86 6 5
                                    

Semakin terhisap kuat oleh hawa sakti si Pertapa Linglung, Jantra Jala Jiwa sengaja membiarkan tubuhnya kian cepat meluncur ke bumi.

Bahkan dengan sengaja ia menambah daya luncur laju tubuhnya dengan hawa gaib digdayanya, Pemberat Raga Gunung Baja.

Pertapa Linglung sangat kegirangan dan merasa puas luar biasa, bahwa hawa sakti pembetotnya kian cemerlang kedahsyatannya.

Terbukti sekarang, ia berhasil menghisap tubuh si Bocah Digdaya itu dengan mudahnya, bahkan daya sedotnya kian dahsyat tanpa perlu ngotot menambah energi saktinya, mampu membuat raga si Bocah Digdaya meluncur turun ke bumi bagaikan lesatan bintang jatuh.

Pada saat kebanggaan memenuhi dada,
Pada saat hampir di puncak keberhasilan
untuk menghancurkan raga Jantra Jala Jiwa,
Dan ketika jarak tubuh Jantra dengan Pertapa Linglung, kurang-lebih sudah tiga meteran. Seketika mata Pertapa Linglung dan semua mata yang menyaksikan Raga Jantra yang hampir ambyar remuk dibanting-ganaskan ke hamparan tanah keras oleh si Pertapa Linglung itu, mendadak dikejutkan dengan lenyapnya tubuh Jantra dan menjelma Bola Cahaya Putih Sangat Menyilaukan Mata, yang diikuti ledakan dahsyat luar biasa sampai memekakkan gendang suara telinga.
Terasa mendenging, lalu tuli sekejap.

Bahkan tubuh si Pertapa Linglung dan tubuh si Pedang Beracun terlempar sejauh puluhan meter dalam keadaan pingsan.

Bahkan di setiap lubang tubuh mereka berdua mengeluarkan darah segar. Tanda terluka dalam.

Padahal kedua tokoh digdaya itu sejak awal telah siaga puncak dengan hawa saktinya masing-masing. Siaga sergap tempur dan siaga benteng diri.

Ternyata kalah asor dengan kedigdayaan Jantra Jala Jiwa.

Kali ini Jantra Jala Jiwa telah sengaja menerapkan Ilmu Mahadigdaya Asmara Embun di Bunga, pada Tataran Embun Ada Tiada, yang ia tingkatkan lagi menjadi Kedahsyatan Digdaya tataran Ada-Tiada Embun dalam Cahaya.

Setelah dua manusia terbuncang dan menggeletak pingsan, maka Bola Cahaya Putih Sangat Menyilaukan itu dalam sekejap mata telah meluncur ke tempat si Golok Darah Ketawa dan Tiga Orang Sakti dari Tiga Gunung.

Kali ini, tanpa bunyi dentuman yang menggelegar, tahu-tahu tubuh mereka semua sudah terlempar ke udara sejauh puluhan meter.

Mereka hanya merasakan seperti diserbu kedahsyatan badai yang tak tampak. Dan sebelum tubuhnya jatuh ke tanah, mereka semua mendengar suara murka Jantra Jala Jiwa: "Salah kami apa? Kalian semua mau membantai kami?!"

Kemudian terdengar suara dentuman dahsyat di jalan raya, tempat kejadian perkara, mendadak meledak dan menjadi jurang sangat besar dan sangat dalam, karena dihajar oleh Bola Cahaya Putih Sangat Menyilaukan.

Lalu tampak segala mayat kuda dan manusia, puluhan orang dan kuda yang terluka terperosok ke dalam lubang raksasa itu. Bagaikan makam raksasa bagi mereka semua.

Memang sejak awal Jantra Jala Jiwa sudah menduga, bahwa di bawah jalan raya terdapat ruang jebakan. Karena ia curiga dengan bentuk tembok kiri-kanan jalan yang tinggi dan teramat tebal, serta mereka berdua digencet pasukan berkuda dari dua arah.

Bahkan telinga Jantra mampu menangkap gaung kecil di dalam tanah, di bawah jalan raya, di mana ia dan Netra sedang berjalan masuk Kota Benteng Jabraganda, dan dikepung-genceti dari depan dan dari belakang.

Oleh karena itu, sejak awal Jantra telah menyampaikan Pesan Batin kepada Netra untuk bergerak di udara dengan menerapkan tataran digdaya Embun Menguap.

Kemurkaan Jantra yang menghancurkan segala yang mengancam dirinya itu dipicu oleh daya bela nyawa dirinya sendiri dan keselamatan Netra Nyala Nyawa yang entah karena apa menjadi Sasaran Pembantaian, Perburuan Pembunuhan. Sejak mereka berdua melintasi Padang Rumput Beludru Bidadari.

JANTRA JALA JIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang