Mentari telah hampir tenggelam pada ufuk barat, menyisakan warna jingga yang memanjakan mata. Hinata menikmati suguhan indah Yang Maha Kuasa sejenak, sebelum akhirnya menutup gorden pada ruang keluarganya, menghalau binar senja yang merambat masuk melalui kaca jendela.
Perempuan itu menghembuskan napas kasar, lalu mendudukkan diri di atas sofa. Tangan kanannya meraih remote televisi, kemudian menekan tombol power, membuat televisi layar lebar di hadapannya menyala dan bersuara keras; Hinata sengaja menyalakan televisi dengan kencang untuk membunuh sepi.
Iya, dia kesepian. Ia benar-benar sendirian di rumah baru mereka. Ah, ia jadi teringat Mama dan Neneknya di rumah utama, biasanya di jam menjelang malam seperti ini mereka berkumpul di ruang keluarga; hanya sekedar untuk menonton acara berita ataupun menonton film bersama.
Hinata menaikkan kedua kakinya di atas sofa, kemudian merebahkan diri, menyamankan posisinya yang berbantalkan lengan empuk kursi yang ia tempati. Tatapannya terfokus pada layar kaca, pada sebuah tayangan sinetron yang sebenarnya sama sekali tidak disukainya. Ah, pikirannya sedang ada di tempat lain ternyata.
Jika boleh jujur, sebenarnya ia masih tidak percaya jika statusnya kini telah berubah; ia seorang istri sekarang. Namun, ia merasa biasa saja, ia tetap merasa seperti sebelumnya. Menikah atau tidak nyatanya sama saja, bahkan suaminya masih tetap bekerja tanpa mengambil cuti. Yah, Hinata pun tak mengharapkan si kuning itu libur bekerja dan menemaninya seharian.
Pesta pernikahan mereka kemarin lusa pun jauh dari kata mewah, mereka menikah diam-diam; hanya dihadiri beberapa anggota keluarga saja. Justru Hinata bersyukur dengan hal itu, sebab kekasihnya yang sebenarnya tak akan tahu jika ia telah resmi menjadi milik pria lain.
Samar-samar terdengar langkah kaki yang kian mendekat ke arahnya, membuat perempuan itu menoleh dengan malas pada asal suara. Dan suami pirangnyalah yang tertangkap oleh pandangan mata mutiaranya.
"Kau pulang cepat?" tanya Hinata, hanya sekedar berbasa-basi.
"Aku tidak sabar ingin segera menemui 'istriku'." Pria jangkung itu terlihat merenggangkan dasi yang melingkari kerah kemejanya. Senyuman nakal terbit dari bibir coklat kemerahannya. Ah, tak lupa ia mengedipkan sebelah mata, menggoda Hinata.
"Basi." Perempuan itu melengos cepat, kemudian mendudukkan diri, kembali memperhatikan layar kaca. Mengabaikan tawa Naruto yang mulai menggema di belakang tubuhnya.
"Hey, bukankah kau lebih baik menyambut kepulangan suamimu ini daripada hanya duduk di sofa sambil menonton sinetron tidak bermutu itu?!"
Hinata memutar kedua bola matanya sebelum menjawab. Entahlah, mendengar kicauan suaminya membuat ia sebal. "Oh, ayolah... sejak kapan kau manja begitu?"
Naruto mendengus, langkahnya kian mendekat pada sang istri, berdiri tepat di samping sofa.
"Kemarilah. Bantu aku membuka jas kerjaku. Lagi pula ini kan memang tugasmu sebagai 'istriku'."
"Hahhh... baiklah." Hinata menghembuskan napas kasar, sebelum akhirnya bangkit dari posisinya dengan malas.
Perempuan itu menghampiri Naruto, berdiri tepat di hadapan si jangkung---yang tersenyum jahil menatapnya. Dengan gerakan tak sabar, Hinata meloloskan jas kerja dari kedua lengan kekar suaminya, lalu menyampirkan kain itu pada lengan kirinya.
"Sudah. Lalu apa?" Hinata mendongak, menatap mata biru Naruto yang lebih tinggi darinya.
"Sekalian kemeja," Hinata menurut, dengan perlahan ia membuka kancing teratas kemeja putih yang suaminya kenakan. "Kemudian celana."
Dan, gerakan tangan perempuan itu terhenti tepat di kancing ke tiga; tepat setelah Naruto berhenti berkata. Hinata mendorong dengan kesal dada bidang di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY (bastard) HUSBAND✔
RomanceTersedia PDF . Demi permintaan terakhir neneknya, pria itu harus menikahi adik angkatnya sendiri. Bukan hanya itu saja, mereka pun diharuskan memiliki anak secepatnya, untuk bisa memiliki hubungan darah yang sebenarnya di dalam keluarga. Hell, itu t...