Yang ditangkap oleh mata seindah mutiara Hinata setelah memasuki kamarnya adalah sosok sang suami yang berdiri tepat di depan lemari kaca. Calon papa muda itu terlihat sedang mengancingkan kemeja hitamnya. Ah, pria itu sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja rupanya.
Dan... kepala dengan surai sewarna arunika tersebut menoleh, diiringi senyum menawan khas dirinya kala atensi safir itu menemukan sosok sang istri. "Sudah selesai memasak, Sayang?"
Dengan senyum yang setia terpatri pada kedua belah bibir sewarna cherry miliknya, Hinata melangkah mendekati sosok sang suami lantas mendudukkan diri pada tepi ranjang. "Sudah. Aku hanya membuat roti bakar, kau tidak keberatan, 'kan?"
Pria itu membalikkan badan, masih dengan senyuman. Tangan kanannya menyugar rambut pirangnya ke belakang sebelum akhirnya meraih dasi berwarna segelap malam yang tergeletak di atas meja tak jauh dari posisinya, lantas mengalungkan pada kerah kemejanya. "Tidak apa-apa... kau sudah berusaha."
Ya, Naruto berusaha memahami apa yang tengah sang istri rasakan sekarang. Wanita itu tengah hamil muda, bahkan pagi-pagi sekali sudah memuntahkan isi perutnya.
"Terima kasih." Hinata kembali memberikan senyumannya. Sejujurnya ia merasa tak enak hati pada suaminya. Ia seorang istri, tetapi jarang sekali mengurus sang suami. Apalagi akhir-akhir ini ia sering kurang enak badan; efek dari kehamilannya, ia semakin jarang melakukan tugasnya seperti biasa; termasuk memenuhi kebutuhan biologis suaminya. Bahkan untuk hanya sekedar menyiapkan sarapan saja terkadang ia tak mampu.
Naruto kembali menatap pantulan dirinya pada cermin, memasang dasinya. Namun, tatapan safir biru itu sesekali tertuju pada pantulan raut jelita sang istri di belakang tubuh besarnya. "Hari ini aku kembali akan pulang malam, jangan mencariku ya..."
"Urusan kantor?" tanya Hinata sembari menaikkan kedua kakinya ke atas tempat tidur, kemudian menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang, membalut seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Ah, ia mulai merasa kedinginan sekarang; musim gugur belum berakhir.
"Urusan 'pekerjaan lain'."
Mendengar jawaban sang suami, entah kenapa Hinata merasa sebal. Ia melirik tajam sosok jangkung itu dengan sudut matanya. "Jangan bilang kau akan ke klub malam. Kau harus ingat kalau 'istrimu' ini sedang hamil. Aku tak suka." Ia lantas mengerucutkan bibirnya.
Naruto tertegun mendengarnya. Pasalnya sikap Hinata terasa berbeda semenjak ia dinyatakan hamil. Wanita itu seakan menjadi lebih manja padanya. Yah, tentu saja Naruto menyukainya.
"Kau membuatku merasa bersalah, Hinata." Pria itu menghentikan gerakannya membenahi dasi yang kini tergantung di lehernya, lantas menundukkan kepala.
"Apa maksudmu?" tentu saja hal tersebut membuat Hinata menatap tajam pada suaminya. Pikirannya sudah sibuk menerka-nerka, tentunya hal-hal negatif yang terlintas di benaknya.
Pria itu segera berbalik, lantas mendekat pada sosok sang istri. "Dengarkan aku dulu ya... aku memang akan ke klub malam,"
Sontak saja Hinata memasang raut wajah kecewa. Ia sudah menduganya. Naruto dan klub malam adalah satu kesatuan yang sulit terpisahkan.
"Tapi sumpah demi apa pun aku ke sana untuk urusan pekerjaan." Lanjut pria itu, mencoba menjelaskan.
"Terserahmu saja!" namun, Hinata justru memalingkan muka.
Pria itu berjongkok di bawah kaki ranjang, kemudian meraih kedua tangan sang istri untuk ia genggam. "Kau merajuk?"
"T-tidak, tuh..." wanita hamil itu masih tidak mau menatap wajah suaminya.
"Yang benar?"
"Tentu saja." Hinata menjawab cepat, masih tidak menoleh sedikit pun padanya.
Namun, hal itu justru memancing kekehan ringan mengalir dari bibir si pria yang merah kecoklatan. Sungguh, Naruto merasa sangat senang mendengar respons sang istri. Semakin Hinata menyangkal, semakin jelas pula jika wanita itu tengah kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY (bastard) HUSBAND✔
RomanceTersedia PDF . Demi permintaan terakhir neneknya, pria itu harus menikahi adik angkatnya sendiri. Bukan hanya itu saja, mereka pun diharuskan memiliki anak secepatnya, untuk bisa memiliki hubungan darah yang sebenarnya di dalam keluarga. Hell, itu t...