15. inilah akhirnya

1.9K 262 216
                                    

"Jadi begitu?" kepala pirang itu mengangguk singkat disertai senyum miringnya. Informasi yang baru saja ia dapatkan sedikit membuatnya terkejut, namun lega di saat yang hampir sama.

"Ya. Aku sudah mencoba mencegahnya, tapi gagal. Maafkan aku, Naruto-kun." Suara halus nan feminin yang berasal dari benda pipih persegi panjang itu kembali terdengar penuh sesal, berbanding terbalik dengan si penerima telepon yang justru terlihat senang.

Si pria berambut pirang terlihat mengapit alat komunikasi yang ia tempelkan di telinga dengan bahunya, lantas menaikkan kedua kakinya ke atas meja, membuat kursi kerja beroda yang ia duduki sedikit berputar. Punggung tegapnya bersandar dengan nyaman pada sandarannya, sedangkan jari-jemari besarnya saling bertaut di depan dadanya yang bidang. Tentu dengan senyuman yang tak luntur menghiasi kedua belah bibirnya yang merah kecoklatan.

"No problem, itu justru bagus. Dengan begitu, aku tak perlu bersusah payah memberitahunya, dia sudah melihatnya sendiri."

Kejam? Biar saja. Lagi pula semua sudah terlanjur, dan waktu tidak dapat ia putar ulang. Toneri yang melihat dirinya dan Hinata sedang bercumbu mesra bukanlah idenya, semua seakan sudah di atur oleh Yang Maha Kuasa, untuk membuka mata sang pria Otsutsuki jika Uzumaki Hinata bukanlah jodohnya. Yah, meskipun dengan cara yang sedikit sadis.

Salahkan Hinata. Naruto sudah lebih dari sering meminta sang istri untuk segera mengakhiri drama 'kakak-adik sialan' ini secepatnya, untuk membuka tabir kebohongan ini pada pria tak bersalah itu, tetapi wanita yang tengah berbadan dua itu selalu saja mengulur waktu. Bukan salahnya jika semua ini akhirnya terjadi, bukan?

Ingat, serapat-rapatnya kau menyimpan bangkai, lama-kelamaan akan tercium juga baunya. Dan, yah... akhirnya peribahasa tersebut benar adanya.

"Lalu, Hinata bagaimana?" pertanyaan dari ujung telepon sana kembali menarik si pirang dari lamunan.

"Biar aku yang mengurusnya." Jawabnya singkat, sembari menatap mentari yang mulai meninggi dari kaca transparan tempat ia mencari pundi-pundi kekayaan. "By the way, thanks... terima kasih karena sudah sudi membantuku, Sara." Lanjutnya.

"Anytime, Naruto-kun. Aku senang bisa membantu kolegaku."

***

"Kue buatan Mama tidak enak ya?"

Hinata menoleh cepat, mengalihkan atensinya dari layar lcd handphone di tangannya pada wajah cantik Kushina---yang baru saja mendudukkan diri di sisinya; pada sofa ruang keluarga di rumah utama Uzumaki. Sekeping kukis coklat telah berada di tangan kanan si wanita yang tengah hamil muda semenjak beberapa menit lalu, tetapi ia belum juga berniat menggigitnya barang secuil. Entahlah, hatinya sedang tak menentu.

"Ah, enak kok, Ma." Ia menyanggah ucapan ibu mertuanya. Melihat raut kecewa Kushina membuat ia merasa tak enak hati juga. Ia menggigit kecil pinggiran kue kering di tangannya, dan wajah jelita itu terlihat mengernyit seketika. Kuenya pahit!

"Bagaimana rasanya?" wanita paruh baya berambut merah menyala itu kembali bertanya. Sungguh, raut wajah penuh antusias itu membuat Hinata tersenyum kikuk.

Apakah ia harus jujur?

Hinata segera mengamati kukis bertabur chocochips di tangannya kemudian membaliknya; melihat sisi bawahnya. "I-ini gosong."

Mata violet itu membola melihatnya, "Astaga! Buang saja yang itu, Hinata. Pilih yang lainnya. Maklum saja, Mama baru berlatih membuatnya." Ucap Kushina, wajahnya sedikit memerah. Tentu saja karena ia tengah malu, kue kering yang ia buat terlihat hitam di bagian bawahnya.

"Tidak apa-apa, Ma. Seperti ini sudah cukup bagus untuk pemula." Hinata menjawab dengan tenang, mencoba menghilangkan raut penuh kecewa di wajah cantik wanita yang sudah merawat dirinya semenjak masih balita.

MY (bastard) HUSBAND✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang