16. mulai terbiasa

3K 284 136
                                    

'Kagumi kegagalan seperti Anda mengagumi keindahan matahari terbenam.' Kata mutiara yang berasal dari Amit Kalantri, seorang penulis asal India, entah kenapa terasa sangat cocok bagi Hinata saat ini. Bagaimana tidak? Ia memang baru saja putus cinta beberapa hari lalu, ia gagal mempertahankan hubungan asmaranya yang terjalin bertahun lamanya. Namun, ia tidak menyesal dengan keputusannya, karena memang itulah yang terbaik yang harus ia lakukan.

Yah, meskipun pada awalnya terasa sangat menyakitkan, bahkan hingga ia tak mampu sedikit pun membuat matanya terpejam selama dua malam. Jika saja ia tak ingat ada janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya, mungkin saja ia tak akan bangkit secepat ini.

Toneri, pria itu adalah pria paling baik sedunia, ia pantas mendapatkan seorang perempuan yang lebih baik darinya. Itulah doa tulus yang selalu Hinata panjatkan pada Tuhan, semoga Yang Maha Kuasa berkenan untuk mengabulkannya.

Sedangkan untuk dirinya? Well, ia pun bersyukur akan kehidupannya saat ini. Sebentar lagi ia akan memiliki seorang bayi, ia akan menjadi seorang ibu beberapa bulan lagi. Senang? Tentu saja. Bukankah hal tersebut adalah impian semua wanita di dunia?

Setelahnya, telapak tangan halus itu otomatis mendarat pada permukaan perutnya sendiri, membelainya perlahan. Permukaannya yang dulu datar, kini semakin terasa menggembung. Usia kandungannya memang sudah lebih dari tiga bulan. Ah, ia jadi tidak sabar menanti perubahan lain pada tubuhnya yang tengah berbadan dua.

Ia mengangkat kepala setelah puas menatapi tempat calon anaknya tengah bergelung nyaman, mengalihkan atensi pada eloknya binar jingga yang menyentuh lembut bunga-bunga indah di pekarangan rumahnya dengan senyuman terkembang sempurna. Sunset memanglah indah, apalagi jika ditemani oleh seteko jus jeruk dan beberapa camilan di atas meja di depannya. Yah, semenjak dinyatakan hamil Hinata memang semakin aktif mengunyah camilan, tetapi selalu menolak untuk makan.

Namun, perhatian wanita itu kembali teralihkan kala sosok sang suami pirang telah tertangkap pandangan mata. Pria itu memberinya senyuman manis sebelum mendaratkan pantatnya pada kursi di sisi kiri Hinata. Sebuah undangan bersampul tebal dengan warna emas ia letakkan begitu saja di atas meja, di sisi stoples kukis coklat dengan taburan chocochips dari ibunya; Kushina.

"Apa itu?" tanya Hinata dengan pandangan mata seindah mutiaranya tak lepas dari sampul undangan yang menarik perhatiannya.

"Undangan pernikahan." Naruto menjawab singkat, tangan kanannya lantas meraih teko berbahan kaca transparan di depannya, menuangkannya pada gelas tinggi yang tersedia sebelum akhirnya meminumnya.

"Sudah tahu." Bibir tipis itu sedikit mengerucut ketika berucap, "Maksudku, undangan pernikahan dari siapa?"

"Sasuke dan Sakura." Naruto meletakkan kembali gelasnya di tempat semula.

Mendengar nama yang begitu familier di telinga, Hinata menoleh cepat pada pemilik wajah rupawan di sisinya. "Mantan kekasihmu?"

"Ya."

Dan...

"Hahahaha." Sungguh, Hinata tak mampu untuk tidak menertawakan pria di sisinya. Nyatanya setelah dirinya patah hati, Naruto pun merasakan hal yang sama dalam waktu yang nyaris berdekatan. Tuhan sangat adil rupanya.

"Kenapa kau tertawa?" safir biru itu memicing kala menatap wajah istrinya, ia masih tak mengerti dengan apa yang membuat Hinata terbahak ria. Ah, apakah ada sesuatu yang lucu di wajahnya?

"Kau pasti sedang patah hati sekarang, kan?" tebak Hinata setelah gelak tawanya mereda.

"Patah hati?" sudut bibirnya naik sebelah, tersenyum miring. "Kheh! Untuk apa?"

Hinata menaikkan sebelah alis kelamnya, "Bukankah kau masih sangat mencintainya?"

"Sakura?"

"Siapa lagi?!" wanita itu terlihat memutar kedua bola matanya.

MY (bastard) HUSBAND✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang