Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi

Bab 4 - Bibir Perempuan Cerewet

50.4K 4.8K 165
                                    


Bab 4 – "Bibir Perempuan Cerewet"


Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku melakukan apa pun kemauan Devano. Membaca sekilas perjanjian tersebut, kemudian menandatanganinya begitu saja tanpa banyak bicara. Mungkin aku terlalu terpana dengan kalimat terakhirnya tadi. Atau mungkin aku terlalu sibuk mengatur debar jantung sialanku yang tiba-tiba saja menggila. Aku tak mengerti. Yang pasti saat ini aku merasa menjadi orang tolol dengan keadaan canggung ini.

Saat ini, kami terbaring di atas ranjang dengan masing-masing di unjung ranjang. Dengan dua buah guling yang berada di tengah-tengah kami. Aku tahu Devano belum tidur, dia tampak gelisah. Dan aku pun demikian.

Sembari mendengkus sebal, aku duduk. "Oke. Aku enggak nyaman dengan hal ini," ucapku.

Devano menatapku dan ikut duduk. "Maksud kamu, kamu tidak suka tidur sama saya? Kamu baru saja menandatangani perjanjian itu. Bagaimana bisa—"

"Cukup," potongku. "Maksudku, aku enggak nyaman dengan rasa canggung ini. Kalau kamu mau melakukannya malam ini, cepat lakukan. Aku enggak akan hamil dan punya anak kalau kamu tidur di ujung ranjang, seakan enggan menyentuhku."

"Kamu salah. Saya tidak akan melakukannya malam ini. Tidak di kamar hotel ini. Kamu adalah istri saya. Saya akan melakukannya di kamar kita."

Laki-laki sialan. Kenapa dia pandai sekali membungkam mulut cerewetku dengan ucapannya yang tak bisa kutebak?

Ya Tuhan, apa dia sekolah di jurusan sastra hingga setiap ucapannya mampu membuatku berdebar-debar seperti ini?

Tapi aku tak ingin menunjukkan padanya tentang hal itu. Aku berusaha mengendalikan diri. "Lalu apa yang akan kita lakukan di sini? Aku tahu kita enggak bisa tidur dalam keadaan seperti ini."

Ya, tentu saja. Membayangkan, bahwa pernikahan kami adalah pernikahan yang sesungguhnya saat ini. Serta membayangkan, bahwa akan ada anak di antara kami membuat perutku mulas. Aku tidak bisa tidur. Ini tidak biasa karena kecanggungan menggerogotiku.

"Kita bisa saling bercerita," ucapnya.

"Aku enggak suka cerita. Dan aku enggak mau mendengar ceritamu yang pastinya akan membosankan."

"Baiklah. Kalau begitu kita bisa melakukan pemanasan sebelum benar-benar melakukannya nanti. Agar tidak canggung."

Mataku membulat seketika. "Pemanasan seperti apa? Jangan macam-macam."

Kulihat dia menyunggingkan senyumannya. Sangat manis. Dan dia berkali-kali lipat terlihat tampan dengan senyuman itu. Sayangnya dia begitu pelit untuk tersenyum. Entah kenapa.

Kurasakan suasana sedikit mencair setelah melihat senyuman itu. Dia kembali membaringkan tubuhnya terlentang dengan berbantal kedua belah lengan kekarnya yang dia lipat di bawah kepalanya. Matanya menatap langit-langit kamar dan mulai bercerita. "Saya sudah kenal kamu sejak lama. Bahkan sejak kamu masih bayi."

Aku ikut membaringkan tubuhku, tapi kali ini aku memposisikan miring menghadap ke arahnya. Menatap ketampanannya yang membuat mataku sulit untuk meninggalkan keindahan wajah dan tubuhnya.

"Tapi saya masih tidak percaya, bahwa Mama ingin saya menikahi kamu dan kita benar-benar telah menikah saat ini."

"Kamu menyesal?" tanyaku.

"Tidak."

"Lalu?"

"Saya tahu, mungkin saya atau kamu akan sulit beradaptasi satu sama lain. Seperti yang sudah terjadi tiga bulan terakhir. Tapi setelah malam ini, saya janji, saya akan memperbaiki semuanya. Kita akan bisa menjadi pasangan normal seperti pada umumnya. Saya tahu kamu orang baik. Kita akan cocok dan bisa melewati semuanya."

"Sejujurnya aku enggak begitu mengenal kamu. Maksudku ... aku enggak tahu apa kamu orang baik atau enggak," timpalku jujur.

"Saya memang bukan orang baik. Tapi saya akan berusaha menjadi baik untuk kamu, untuk keluarga kita. Kamu hanya perlu bersabar dengan sikap saya."

"Sudah sangat sabar, tahu," gerutuku.

Devano mengangkat sebelah ujung bibirnya. "Kalau kamu tahu apa yang sedang terjadi sama saya, kamu akan mengerti."

"Memangnya kenapa? Jangan sok misterius gitu, deh."

"Belum saatnya kamu tahu. Kita akan pelan-pelan mengenal satu sama lain. Sekarang, ceritakan sama saya tentang diri kamu."

"Katanya kamu sudah kenal aku."

"Di luar, ya. Tapi secara pribadi, belum."

"Enggak ada yang spesial. Aku cuma fokus sama kerjaan, sampai Mama bilang kalau aku mau dijodohin sama kamu. Awalnya aku nolak, tapi melihat kamu oke, jadi kenapa enggak aku coba? Dan ternyata ...."

"Ternyata kenapa?"

"Di luar ekspetasi."

"Maksudnya?"

"Secara penampilan kamu sempurna, tapi secara sikap, kamu cacat," jawabku.

Aku kembali melihat wajahnya mengeras. Dia tampak tak suka dengan kritikan, tapi aku tak peduli. Memang itu yang kulihat dan kurasakan darinya. Aku mengatakan hal itu agar dia mau memperbaiki diri.

"Sepertinya sudah cukup. Mari kita tidur," ucapnya membalikkan badan memunggungiku.

Dia marah. Aku tahu itu. Sebenarnya cukup wajar kalau dia marah. Mengingat kata yang kupilih sedikit berlebihan. Tapi tetap saja, tak seharusnya dia bersikap seperti itu. Kami kan sudah sepakat untuk memperbaiki hubungan ini.

Dasar laki-laki aneh.

***

Paginya, Devano kembali menjadi sosok yang menyebalkannya—cuek, dingin, dan tampak enggan bercakap-cakap denganku. Entah apakah dia masih tersinggung dengan ucapanku semalam.

"Baiklah. Aku pikir aku berhutang maaf sama kamu," akhirnya aku mulai membuka suara karena merasa kurang nyaman dengan suasana seperti ini—diam senyap, padahal kami sedang berada di sebuah ruangan yang sama.

"Maaf untuk apa?" tanyanya.

"Jangan pura-pura enggak tahu. Semalam ucapanku keterlaluan, makanya kamu marah."

"Lupakan saja," ucapnya enggan.

"Mana bisa aku melupakannya. Aku bukan kamu yang bisa bersikap enggak punya salah," sergahku.

Lagi-lagi wajah Devano mengeras seperti tadi malam.

Ya Tuhan, mulut. Aku kan sedang ingin meminta maaf. Kenapa malah jadi menambah kesalahan?

Aku menunduk seketika dan menyesal "Maaf."

Kurasakan Devano mendekat, berhenti tepat di hadapanku. Kurasakan juga jemarinya menyentuh daguku, mengangkat wajahku menatap ke arahnya. "Saya memaafkan kamu karena saya maklum. Kamu belum tahu apa pun tentang diri saya. Tapi mulai sekarang, perlu kamu ketahui, bahwa selain tidak suka penolakan dan dikhianati, saya juga paling benci ketika ada orang yang menilai diri saya dan mengkritik apa pun yang ada dalam diri saya. Saya tidak suka."

"Terus, kamu sukanya apa? Kayaknya kamu enggak suka apa pun yang dilakukan orang terhadap kamu."

"Mungkin ... saya akan suka mencium bibir perempuan cerewet yang banyak tanya seperti bibir istri saya."

Mataku membulat seketika, mencoba mencerna apa yang baru saja dia ucapkan. Entah itu sebuah penghinaan atau sebuah godaan.

"Kamu mau mencobanya?" tanyanya kemudian.

Tubuhku kaku, tak bisa bergerak sedikit pun. Aku tak tahu apa yang terjadi, yang pasti aku pun ingin mencoba apa yang baru saja dia katakan. Membuatku menutup mata, menunggu bibirnya menyentuh bibirku.

Ya Tuhan, apa dia pandai berciuman? Apa dia akan menciumku pagi ini?

-TBC-

TessaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang