SATU

514 24 6
                                    

Senayan panas dan ramai, atau lebih tepatnya penuh. Cukup penuh untuk membatasimu bisa bergerak semaumu. Terlalu banyak manusia berjejal disini, beralmamater, berikat kepala, membawa spanduk dan memegang bendera berdiri dibawah terik sinar matahari sambil mengangkat tangan dan berteriak-teriak menyahuti setiap orasi.

Ini semua tak membuatku siap menghadapi segala macam kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Kondisi seperti sekarang teramat membuatku kesulitan untuk merancang rencana evakuasi apabila kekacauan tak diinginkan tiba-tiba saja terjadi. Meski sudah ada briefing sana-sini sebelum aksi, tapi tetap saja aku tak percaya hal itu bakalan teramat mudah untuk dieksekusi. Tidak dengan kondisi di lapangan seperti ini. Delusi-delusi mengerikan itu terus mengombang-ambingkan diriku sedari tiba dititik demonstrasi depan pagar utama gedung DPR MPR RI. Aku tak bicara, diam dan terus berfikir, menganalisa dan berharap sebuah kesimpulan yang membuahkan hasil bahwa ini akan selesai secepat mugkin.

Aku mulai bosan. 

Berdiri, diam dan melihat mereka berbicara diatas mobil bak terbuka meneriakkan sumpah mahasiswa, menyuarakan tuntutan mereka dan mengulangi kegiatan itu setiap perwakilan baru universitas lain memagang mikrofon. Sinar matahari itu mulai sangat-sangat membakar. Menambah panas suasana penuh dan berapi-apinya demonstrasi siang ini. Kurasakan keringatku bercucuran dibalik pakaian yang kukenakan. Aku mulai gelisah, dan takut aku malukakan hal-hal bodoh dikerumunan beribu orang ini dan menjadi bahan lelucon atau pergunjingan di sosial media kemudian hati. Tapi aku juga tak henti-henti bertanya dihari selasa yang panas di Senayan ini. Bertanya tentang apa yang sedang aku lakukan disini?

"Mel? Gak apa-apa kan?" Kiara menepuk bahu kiriku.

Aku mengenali kata-kata itu. Sebuah pertanyaan yang selalu Kiara utarakan setiap kali wajahku nampak jelas melampaui batas keadaan baik-baik saja.

"Aku gak apa-apa kok Key" jawabku menepis segala macam spekulasi yang mungkin sudah berkelebatan di otak Kiara.

Kiara menaikan sudut bibir kanannya sedikit ke atas, jelas ragu dengan jawabanku yang sudah ia hafal . "Jangan ngelamun Mel, bahaya. Kalau ada apa-apa kamu bilang ya jangan diam aja" sambungnya dengan muka serius memperingatkan.

Aku menganggukkan kepala dengan senyum tipis yang kuharap itu dapat membuatnya tenang dan tak mengoreknya lebih jauh lagi. Melihat situasi dan kondisi seperti sekarang sama sekali tak membuatku berselera untuk mengutarakan apa yang benar-benar terjadi dengan diriku sekarang dan syukurlah Kiara pun berlalu setelah itu. Berjalan ke depan menerobos barisan orang-orang yang berdiri di depannya kemudian berhenti sebentar lalu bicara dengan satu dua orang untuk berkordinasi atau hanya bertanya perihal suatu hal seperti yang baru saja ia lakukan padaku. Kiara adalah ibu dari aktivis kampus, penyambung lidah rakyat yang rela berpanas-panas, berbanding terbalik denganku; bingung dan bosan. 

Orasi saat ini masih terus menerus meneriakkan tuntutan menghadirankan pimpinan DPR ketengah-tengah massa. Dari apa yang sampai ditelingaku, mereka tak akan serta merta menyudahi demonstrasi ini apabila tuntutan mereka tak segera dipenuhi bersama pembahasan tujuh butir mandat yang lain. Dan itu semua membuat otakku berkerja keras untuk meredam keinginan untuk memprotes mereka yang tidak realistis ingin menyelesaikan semua itu saat ini juga, di tempat panas dan sesak ini juga.

Pukul satu lewat sepuluh menit. Aku benar-benar mulai menyesali keputusanku untuk hadir ditengah-tengah lautan manusia-manusia beralmamater ini yang sedari tadi menanamkan keyakinan pada diri mereka sebagai penyalur aspirasi masyarakat. Perasaan tidak nyaman yang menyeruak terus beriringan dengan masih terus berjibakunya otakku yang menyangkal bahwa aku memang harus hadir disini dan bertahan disini sampai detik terakhir, baik suka maupun tidak suka. Disini aku berdiri, bisa jadi manusia paling tidak menikmati acara demonstrasi ini. Nuraniku belum bisa kompromi untuk siap lakukan aksi hari ini. Andai saja orang tuaku tak mengizini, aku pasti tak akan pergi dan terdampar disini. Karna aku tau mereka yang diparlemen tak semudah itu berpola tindak tanduk santun untuk mau datang dan sambutan. Berdiri mengikuti gaya orasi ala para mahasiswa yang sedang mengemban misi. Hanya para polisi yang setia mengawal gedung tempurung kura-kura itu. Dengan perlatan lengkap untuk mereka pegang kendali dan antisipasi. Para polisi siap menghadapi bila sewaktu-waktu massa aksi menjadi tak terkendali setelah memutuskan kosongkan kelas dan turun jalan untuk demonstrasi.

Suatu Selasa di Bulan SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang