Felicia berjalan terhuyung-huyung sambil memejamkan mata dan mulutnya mengumamkan rasa sakit yang nampak ia tahan. Ia terlihat nyaris pingsan. Kiara berada di dekatnya sambil terus berjalan bantu memberinya pertolongan dengan menyiramkan air di wajah Felicia, ketika Ariz mahasiswa yang kukenal tengah memapah Felicia berteriak "air.. air. Yang punya air woy"
Batinku bergejolak. Selama beberapa detik aku terus bergulat dengan keinginan untuk berlari menghampiri, tapi diriku yang lain mencoba mencegah dan mengatakan tak usah kamu tak cukup berani untuk berlama-lama di sini. Tapi aku hadir di sini bukan hanya untuk sekedar berdiri bukan? Aku tidak ingin selalu terjebak di dalam diriku dan menyesal dikemudian hari. Sejenak kemudian, aku merasakan diriku tersentak. Hingga akhirnya kulepaskan tanganku dari barisan.
"Sini. Tetep saling pegangan"kataku menginstruksikan dua orang mahasiswa untuk mendekat setelah aku keluar barisan.
Aku langsung menghampiri Ariz dan Kiara yang hanya tiga langkah jauhnya dariku sambil membuka zipper ranselku. Aku langsung menyodorkan botol minumku pada Kiara yang langsung membuka tutup botolnya dan mengucurkan di wajah Felicia.
Aku terdiam menyaksikan kejadian itu. Ketika air itu membasuh wajah Felicia dan kulihat matanya sangat merah sesaat ia mengerjap-ngerjapkannya. Ia terbatuk-batuk sesekali. Wajahnya berubah menjadi sayu. Ikat rambutnya berantakan, dan nafasnya sedikit tersenggal-senggal.
"Awasin yang lain, jangan sampe kepisah. Tetep kontrol" katanya dengan nada lemas sesaat setelah ia bisa mengamati kondisi di sekitarnya. Energi di tubuhnya jelas banyak hilang. Dari posisinya yang sekarang sedang membungkuk dan menumpukan kedua tangannya dilutut. Gambaran matanya yang merah jelas masih terekam di memori ingatanku
"Gue udah baik-baik aja," katanya akhirnya berusaha kembali berdiri dan menegakkan badan. "Makasih. Ayo kita harus gerak sekarang. Lo juga, Riz. Buruan balik sama tugas lo"
Sulit bagiku untuk berdecak tak percaya atas kepedulian Felicia. Sosok yang selalu menatap dengan tajam dikala rapat, yang sangat pelit bicara, berwajah dingin dengan mata sipit dan cara berpakaian ala mahasiswa apatis nyatanya begitu perhatian dengan orang lain dan keberlangsungan aksi ini. Lagi-lagi alam fikiran spekulasiku di jungkir balik ketika aku menemukan kehangatan pribadinya yang lain selagi kupandangi wajahnya yang jelas-jelas bersusah-payah mengusir efek menyakitkan gas air mata itu.
Setelah Kiara memastikan Felicia sudah lebih baik, kami putuskan untuk kembali bergerak. Suasana lautan manusia itu kian keruh dan diselimuti hingar bingar kekacauan. Banyak sekali pergerakan manusia-manusia yang semua berusaha menjauhi titik pusat demonstrasi. Kami berjalan sebisa mungkin untuk mencoba menyusul kelompok kami, meski sekarang rasanya kami tak harus lagi bergerembol berbanyak dengan kawan kampus kami sendiri untuk berupaya mengevakuasi diri.
Dan setelah beberapa waktu kami berjalan, kutolehkan mukaku kebelakang. Kulihat mobil itu menyemprotkan air ke berbagai penjuru, membubarkan barisan mahasiswa dan memaksa mereka menjauh. Suasana makin riuh, ketika pandanganku sempat menangkap peristiwa pelemparan batu itu kearah dalam gedung DPR. Kulihat barikade itu samar-samar menghalau mahasiswa yang coba anarki dibalik tameng-tameng yang mereka bawa. Mobil itu terus menerus menyemprotkan air, sementara asap-asap itu tak kian menipis tapi malah menyebar kemana-mana terbawa hembus angin, saling berburu kecepatan dengan derap langkah mahasiswa yang coba lari dari titik pusat aksi. Dan kemudian kurasakan kecepatan gerak langkah kakiku semakin melambat bersamaan dengan sebuah suara teriakan
"Awas woy, awas ada gas air mata"
Dan sedetik kemudian kepulan asap menyebar beberapa meter di belakangku ketika ku menoleh dan melihatnya. Semua tak lagi menjadi baik-baik saja. Panas dan perih mulai menghampiri mataku. Teriakan-teriakan semakin tumpang tindih, pemandangan mengaburkan mahasiswa dipapah, digotong, membersihkan wajah dengan air semakin samar-samar kulihat.
Ini buruk batinku dalam hati.
Aku berhenti, buru-buru kubuka tas ranselku ketika kurasakan badanku ditabrak dan digoncang oleh seseorang yang baik sengaja maupun tidak sengaja menabrakku. Kuambil botol minumku dan bersegera menyiramkannya ke mataku. Dan selama beberapa waktu kurasakan kondisi pengelihatanku berangsur sedikit membaik. Mungkin tak cukup banyak terpapar, batinku dalam hati mencoba berfikir positif. Dan pada saat akan kubuka mata, aku tersadar bahwa aku tak lagi berpegangan tangan dengan siapapun. Saat itulah aku benar-benar yakin bahwa aku lepas dari rombongan Kiara dan Felicia entah bagaimana. Tak ada hal lain yang terlintas dibenakku saat ini selain gelisah, lelah, dan sedikit amarah.
Tapi perjalanan ini harus terus berlanjut. Diam di sini sama saja dengan bunuh diri.
Aku mencoba kembali berjalan, meski kurasakan diriku tak lagi sama dengan sebelum asap itu menyapa. Kurasakan diriku berjalan sedikit terhuyung-huyung. Aku berusaha melindungi mata dengan tanganku, dan satu tangan lain berada di atas masker yang kukenakan. Aku berhati-hati dalam berjalan, dengan kertebatasan akses untuk melihat, aku tak bisa buru-buru seperti tadi ketika ada seseorang yang memegangi tanganku dan kami bisa saling memandu. Aku tetap melangkah sambil membayangkan tentang mereka yang disemproti water canon, mereka yang menantang polisi, mereka yang dekat dengan titik gas air mata dan harus manahan perih, semua gambaran itu berkelebatan silih berganti dalam akal fikiranku.
Sebuah perasaan tiba-tiba muncul, menyeruak dan menyatakan menyesal karna sebelumnya aku telah memprediksi bahwa ini akan terjadi. Tapi aku pura-pura bodoh.
Andai aku diam saja di rumah, aku tak perlu menahan perihnya gas air mata dan ditenggor-tenggor orang yang mempersulit semua keadaan dan benar saja semua ketakutanku tibat-tiba jadi nyata. Kurasakan diriku menabrak seseorang hingga buatku jatuh terjengkang kebelakang. Tak ada yang bisa kurasakan selain sakitnya badanku saat jatuh menyentuh aspal dan kudengarkan teriakkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suatu Selasa di Bulan September
Fiksi Remaja[Narasi demonstrasi mahasiswa Reformasi Dikorupsi 24 September 2019] Pergi atau kembali ke kamar dan mengunci diri? Demonstrasi tak pernah berakhir baik-baik saja, kau tau itu Amelia